Indonesia juga memiliki budaya kekerasan. Namun, lebih terhormat dan bergengsi. Budaya bangsa ini adalah Pencak Silat. Bukan sembarang berantem atau adu jotos, melainkan seni bela diri.
Beredar luas video dua orang baku hantam di media sosial. Durasi video cukup singkat. Itu karena pria berbaju hitam memukul K.O. lawannya. Lawannya pun tersungkur di tengah jalan.
Video viral itu diunggah akun Twitter bernama @henrysubiakto. Dalam keterangannya, pria pemenang duel tersebut mahasiswa asal Indonesia.
“Mahasiswa Indonesia di AS ini diserang mahasiswa kulit putih. Si Bule tdk nyangka kalau anak Indonesia itu sejak SMA sdh terbiasa tawuran,” tulis akun tersebut.
Namun, kebenaran identitas pria tersebut belum diketahui pasti. Melansir Indozone, perwakilan RI di Amerika belum menerima aduan atas kejadian itu. Sehingga, Kementeian Luar Negeri RI juga belum bisa mengkonfirmasi kebenarannya.
Video tersebut bikin heboh lini masa. Menganut hipotesa netizen yang beredar luas, pria tersebut mendapat perlakuan rasis. Dia berusaha bersabar dan menghindar. Namun, pada akhirnya harus melawan. Lawan pun tumbang.
Orang Indonesia kok dilawan, apalagi caranya adu jotos. Sangat salah jika caranya begitu. Orang Indonesia sudah terlatih bertarung. Sejak remaja, warga +62 sudah akrab dengan tawuran. Tapi ini bukan contoh yang baik.
Indonesia juga memiliki budaya kekerasan. Namun, lebih terhormat dan bergengsi. Budaya bangsa ini adalah Pencak Silat. Bukan sembarang berantem atau adu jotos, melainkan seni bela diri.
Baca juga: Seni Beladiri dan Perjuangan Membela Kemanusiaan
Mengamati isu yang terjadi, pencak silat akan sangat berguna. Perundungan harus dilawan balik, kriminalitas harus diwaspadai. Buktinya, banyak peristiwa yang menciderai kemanusiaan dikabarkan media.
Pandemi global 2020 turut menyumbang kepedihan. Kemrosotan ekonomi dan nilai sosial menjadi ancaman. Misalnya terjadinya PHK dan laku seret bagi usaha mikro. Juga, pelepasan para napi melalui kebijakan asimilasi.
Menurut praktisi pencak silat Merpati Putih, Haryanto Bs Soenarjo ini sebuah tantangan zaman. Ketua Pengda Merpati Putih Jawa Timur tersebut kerap mengungkapkan hal itu. Termasuk saat Musyawarah Daerah Merpati Putih Jawa Timur di Surabaya tahun lalu (7/7/2019).
“Ini sudah menjadi tantangan bagi kita karena semakin ke depan, tingkat kriminalitas semakin tinggi, karena jumlah penduduk tambah banyak, pengangguran banyak sehingga kriminalitasnya naik,” ungkap pria berkumis tebal tersebut.
Pada beberapa kesempatan, Hary (sapaan akrabnya) menjadi pembicara di kegiatan mahasiswa. Misalnya kegiatan pendidikan dan pelatihan anggota baru Merpati Putih. Mahasiswa baru memang perlu belajar beladiri. Terlebih jika berada di tanah rantau nan jauh dari keluarga.
Baca juga: Menak Lono, Pencak Silat Khas Padangan
Tidak hanya bela diri, pencak sila memberikan manfaat lain. Misalnya prestasi non-akademik bagi pelajar. Juga, kesehatan dan kebugaran. Baik secara fisik maupun mental. Aktivitas yang positif bukan?
Bila dikembangkan, kemampuan beladiri juga bermanfaat bagi lingkungan sosial. Misalnya saat pandemi virus covid-19. Perguruan silat Merpati Putih turut berkontribusi dalam penanganan pasien Covid-19.
Melansir Kumparan, PPS Betako Merpati Putih Cabang Bojonegoro berbagi upaya dalam perawatan pasien Covid-19. Tepatnya di Rumah Sakit Bhayangkara Wahyu Tutuko. Kegiatan tersebut berlangsung selama tujuh hari sejak 30 Mei 2020.
“Semoga dengan terapi tersebut (olah pernafasan Merpati Putih), pasien Covid- 19 yang sedang kami rawat bisa meningkat imunitasnya dan juga dalam swab (PCR) berikutnya hasilnya sudah negatif,” kata Kepala RS Bhayangkara yang juga anggota senior Merpati Putih, Rommy Sebastian, dikutip dari Kumparan (3/6).
Karena itu semua, bela diri menjadi penting dipelajari. Terlebih saat krisis akibat pandemi global. Generasi muda harus mampu menyintasi keadaan. Ini bukan ancaman, tetapi perlu meningkatkan kewaspadaan. Apalagi di hadapkan pada masa depan yang belum pasti.
Setiap orang harus optimis, layaknya percaya akan kemampuan menerbangkan pesawat. Namun, rasa pesimis mampu menciptakan parasut. Bukan karena takut gagal, melainkan kewaspadaan agar kekhawatiran mampu teratasi.