Akhir-akhir ini, konflik antara Rusia dan Ukraina menjadi headline dari berbagai media. Berikut tinjauan hukumnya.
Konflik ini dipicu adanya pengakuan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang pada tanggal 21 Februari 2022 mengakui deklarasi kemerdekaan dari Donetsk dan Luhansk atas Ukraina, Nabs.
Dalam deklarasi kemerdekaannya, Donetsk menggunakan nama resmi Donétskaya Naródnaya Respúblika (dalam bahasa Rusia) atau Donets’ka Narodna Respublika (dalam bahasa Ukraina) yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti Republik Rakyat Donetsk.
Senada dengan hal tersebut, Luhansk dalam deklarasi kemerdekaannya juga memilih nama resmi Luganskaya Narodnaya Respublika (dalam bahasa Rusia) yang kurang lebih dalam bahasa Indonesia berarti Republik Rakyat Lugansk/ Luhansk.
Nabs, pengakuan Rusia atas deklarasi kemerdekaan Donetsk dan Luhansk akhirnya berlanjut pada tanggal 24 Februari 2022 yang mana Rusia mengumumkan operasi militer khusus di Ukraina dengan tujuan untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi serta tidak memiliki orientasi untuk menduduki Ukraina.
Meski begitu, hingga tanggal 27 Februari 2022, menurut laporan Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), terdapat sekitar 240 warga sipil menjadi korban dengan 64 diantaranya dilaporkan meninggal.
Hal ini juga belum termasuk sekitar 160.000 orang yang mengungsi. Hal tersebut tentu perlu mendapat keprihatinan bersama mengingat bahwa apapun alasan dan tujuannya perang tetaplah merupakan “bencana kemanusiaan”.
Tulisan ini berupaya mengkaji permasalahan tersebut dari aspek hukum internasional, peran Indonesia, serta pelajaran bagi Indonesia terkait dengan konflik antara Rusia dan Ukraina.
Aspek Hukum Internasional
Mengacu pada pernyataan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagaimana dikutip dari Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia), bahwa salah satu alasan operasi militer yang dilakukan oleh Rusia dengan didasarkan pada Chapter VII Action With Respect To Threats To The Peace, Breaches Of The Peace, And Acts Of Aggression, Article 51 Charter Of The United Nations (Pasal 51 Piagam PBB) yang menyatakan bahwa, “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defense shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Pada prinsipnya, Pasal 51 Piagam PBB memberi hak negara untuk membela dirinya baik secara individual maupun kolektif melalui pakta pertahanan.
Menurut Pemerintah Rusia, Donetsk dan Luhansk yang telah diakui kemerdekaannya oleh Rusia mendapat serangan dari militer Ukraina sehingga Rusia harus hadir untuk mengamankan dan menetralisir keadaan.
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Pemerintah Rusia, Pemerintah Ukraina justru menganggap bahwa Rusia telah ikut campur dalam urusan dalam negeri Ukraina.
Hal ini juga diperparah dengan pengakuan terhadap kemerdekaan Donetsk dan Luhansk yang selama ini dianggap sebagai gerakan separatis dan dianggap telah mengganggu integritas wilayah Ukraina.
Bahkan, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, juga menegaskan bahwa bila Rusia terlibat dalam perang dalam skala besar maka tidak ada pilihan bagi Ukraina untuk membalasnya berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB (Article 51 Charter Of The United Nations).
Jika mengacu pada pendapat dari Pemerintah Rusia maupun Ukraina di atas, sejatinya kedua negara sama-sama menggunakan legitimasi Article 51 Charter Of The United Nations (Pasal 51 Piagam PBB).
Menurut Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia), dalam konteks ini hukum internasional hanya digunakan sebagai “legitimasi” baik Rusia maupun Ukraina untuk melaksanakan perang dan menghalalkan kekerasan.
Kritik Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia) atas penggunaan hukum internasional dalam kondisi perang yang menempatkan hukum internasional secara hierarkis di bawah kehendak politik masing-masing pihak. Dalam perang, hukum internasional seolah hanya ditempatkan sebagai “rubber stamp” atau stempel pembenar dari kehendak politik masing-masing pihak.
Tentu, kritik seperti ini tidak hanya pertama kali diungkapkan oleh para ahli dan pakar hukum internasional.
Sebelumnya, Martin Dixon (2001) dalam bukunya yang berjudul “Texbook on International Law” memberikan kritik bahwa hukum internasional tidak memiliki institusi-institusi formal sebagaimana hukum nasional suatu negara sehingga upaya penegakannya diragukan untuk terlaksana secara presisi.
Lebih lanjut, kritik terhadap hukum internasional juga disampaikan oleh John Austin sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger (1994) dalam bukunya yang berjudul “International Law and Order” yang menegaskan bahwa hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive morality karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan secara optimal sehingga hukum internasional dapat disimpulkan bukanlah merupakan “hukum yang sesungguhnya”.
Hal ini didasarkan pada keempat argumentasi yaitu: (i) tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat, (ii) bersifat koordinasi, tidak subordinasi, (iii) tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional, dan (iv) tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.
Dengan demikian, menurut Martin Dixon dan John Austin hukum internasional bukanlah “hukum yang sesungguhnya”.
Terlepas dari kritikan beberapa pakar hukum internasional terhadap eksistensi hukum internasional itu sendiri sebagaimana disampaikan oleh Martin Dixon dan John Austin, pendapat yang berbeda justru dikemukakan oleh Oppenheim yang mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law). Hal ini didasarkan pada tiga syarat hukum, yaitu: (i) adanya masyarakat, (ii) adanya aturan hukum, serta (iii) adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Terkait dengan syarat pertama yaitu adanya masyarakat dapat dilihat bahwa adanya masyarakat internasional yang beberapa diantaranya terinstitusionlisasi melalui PBB, Uni Eropa, ASEAN, maupun organisasi lainnya baik yang bersifat publik maupun privat internasional.
Terkait dengan syarat kedua yaitu adanya aturan hukum, hal ini dapat dilihat misalnya dengan adanya Charter Of The United Nation atau Piagam PBB serta berbagai aturan internasional lainnya termasuk konvensi dan perjanjian antarnegara.
Terkait dengan syarat yang ketiga yaitu adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) dapat dilakukan denga badan tertentu atau dari pihak atau negara lain. Badan tertentu contohnya adalah United Nations Security Council/Dewan Keamanan PBB.
Selain itu, jaminan pelaksanaan dari luar juga dapat diterapkan oleh pihak atau negara lain yang berwujud sanksi biasanya berupa: tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition).
Selain itu, terdapat juga sanksi yang sifatnya represif seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan, hingga perang.
Berdasarkan uraian tersebut, Oppenheim sejatinya menegaskan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya meskipun Oppenheim juga mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum yang berkarakter lemah (weak law) jika dibandingkan dengan hukum nasional suatu negara.
Berdasarkan uraian mengenai hukum internasional sebagai hukum yang sebenarnya atau bukan penulis menyimpulkan bahwa hukum internasional sejatinya merupakan hukum yang sesungguhnya meskipun dengan karakteristik yang lemah jika dibandingkan dengan hukum nasional suatu negara, Nabs.
Dalam hal ini, penulis lebih memilih argumentasi yang dikemukakan oleh Oppenheim dibandingkan dengan argumentasi yang dikemukakan oleh John Austin. Menurut penulis, pemikiran John Austin tentang hukum internasional sudah tidak lagi relevan dikarenakan John Austin menggunakan pendekatan positivisme hukum.
Menurut Jori Mario (1998) dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy yang menegaskan bahwa, “Legal positivism is the approach in the philosophy of law which treats ‘positive law’–law laid down in human societies through human decisions – as a distinct phenomenon, susceptible of analysis and description independently of morality, divine law or mere natural reality”.
Lebih lanjut, gagasan John Austin juga menekankan pada, “…..law and morality are separate and that all human-made (“positive”) laws can be traced back to human lawmakers, is known as legal positivism…..”.
Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum menekankan pandangan bahwa hukum haruslah bersifat “positif” sehingga harus “netral” dan terbebas dari anasir-anasir moral, kesusilaan, agama, serta kepatutan sosial.
Selain itu, hukum juga harus dibuat oleh penguasa (law maker) yang merupakan institusi yang lebih tinggi dari pada yang diatur (bersifat sub-ordinatif).
Mengacu pada hal tersebut, sejatinya pandangan positivisme hukum John Austin terkait hukum internasional perlu dikaji serta direkonstruksi kembali mengingat hukum internasional bersifat koordinatif (bukan sub-ordinatif sebagaimana pandangan hukum positif John Austin).
Dengan demikian, penulis condong pada pendapat dari Oppenheim dalam memposisikan hukum internasional.
Menurut hemat penulis, hukum internasional harus diposisikan sebagaimana pendapat dari Herry C. Bredemeier bahwa hukum (termasuk hukum internasional) merupakan “integrative mechanism”. Sebagai mekanisme integrasi, hukum internasional harus berkolaborasi dengan subsistem internasional lainnya seperti politik internasional, ekonomi internasional, hubungan internasional, budaya, serta berbagai subsistem internasional lainnya.
Nabs, hukum internasional sebagai mekanisme integrasi juga diharuskan menjadi “inspirasi” yang dimaksudkan supaya proses hukum dapat dijalankan secara selaras dengan proses-proses non-hukum seperti mediasi, hubungan bilateral, perundingan, serta proses-proses non-hukum lainnya.
Dengan demikian, hukum internasional sebagai “inspirasi” menekankan bahwa hukum internasional harus menjadi fasilitator sekaligus “pintu pembuka” bagi tersedianya proses-proses penyelesaian konflik dan sengketa internasional di luar proses hukum.
Meski begitu, ketika proses-proses non-hukum menemui jalan buntu maka hukum internasional harus menjadi “solusi akhir” sehingga jalur hukum menjadi jalur terakhir supaya apapun putusannya para pihak harus melaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Dalam konteks konflik antara Rusia dan Ukraina pada saat ini, penulis berpendapat bahwa hukum internasional harus berfungsi sebagai mekanisme integrasi yang artinya harus mengupayakan proses hukum dan non-hukum dalam penyelesaian konflik antara Rusia dan Ukraina.
Menurut hemat penulis, proses hukum dapat dilakukan dengan melalui International Court of Justice (Mahkamah Internasional) termasuk menyelesaikan berbagai isu hukum yang menjadi sengketa kedua belah pihak. Penyelesaian di Mahkamah Internasional menjadi pilihan bijak dengan mengganti “perang senapan” dengan “perang pemikiran, argumen, dan gagasan”.
Perang pemikiran, argumen, dan gagasan melalui Mahkamah Internasional seyogianya lebih manusiawi serta berpotensi meminimalisasi korban dari masyarakat sipil. Selain itu, proses hukum juga dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya Resolusi Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly resolution).
Resolusi Majelis Umum PBB menurut penulis merupakan hal yang paling realistis karena jika mengupayakan Resolusi Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council Resolution), maka Rusia dapat menggunakan hak veto nya terkait Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Proses non-hukum dapat dilakukan dengan pertemuan bilateral antarkedua belah pihak maupun pertemuan yang diinisasi oleh pihak lainnya dengan tujuan utamanya untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.
Selain itu, pertemuan bilateral antara Rusia dan Ukraina dapat dengan menggunakan pendekatan budaya (cultural approach), hal ini karena baik Rusia dan Ukraina termasuk dalam rumpun bangsa Slavia.
Hal ini tentu nilai-nilai luhur, kebiasaan, moralitas, serta tata susila bangsa Slavia dapat menjadi instrumen penengah dan penyelesaian konflik antarkedua negara.
Hal ini dikarenakan apapun tujuan dan latar belakangnya, perang tetaplah menjadi musibah bagi kemanusiaan ibarat kata pepatah, “Menang jadi abu, kalah jadi arang”.
Siapapun yang memenangkan perang, tetap saja masyarakat sipil yang akan menjadi korban. Oleh karena itu, Pemerintah Rusia dan Ukraina diharapkan untuk dapat menahan diri serta mengutamakan keselamatan masing-masing masyarakat sipil di masing-masing negara. Apalah arti bendera berkibar jika rakyat dan masyarakat sipil tewas terkapar? Semoga baik langkah hukum maupun non hukum bagi kedua negara dapat terlaksana untuk menghindarkan lebih banyak korban yang akan berjatuhan, Nabs.