Sejak abad 14 M, Bojonegoro tercatat empiris sebagai Nadikerta, Kota Bengawan penjaga denyut Nusantara.
Meski kontribusinya kerap terlupakan, sungai Bengawan merupakan satu-satunya Sumber Daya Alam (SDA) paling teruji dalam rangka memakmurkan Bojonegoro. Meski namanya hanya diingat kala terjadi bencana, sungai Bengawan pernah membawa nama Jipang (Bojonegoro) sebagai titik kunci peradaban Nusantara.
Njipangan: Wangsa Bengawan pengendali Peradaban Pesisir dan Pegunungan
Sungai Bengawan merupakan aset utama Kota Bojonegoro. Sungai terpanjang di Pulau Jawa itu, pernah menyemat Bojonegoro sebagai pengendali kemakmuran wilayah Hulu dan Hilir. Posisi Bojonegoro sebagai “jantung” Bengawan, membuatnya dikenal sebagai pengendali “ekor” dan “kepala” sungai Bengawan.
Terlebih, Bojonegoro merupakan wilayah paling dominan terhadap sungai Bengawan, melebihi wilayah lainnya. Ini penting untuk diketahui. Sebab, dominasi ini terbukti empiris. Data dari Balai PSDA Bengawan Solo (2006) mengatakan, Bojonegoro wilayah terluas dan paling panjang dilintasi Sungai Bengawan.
Dari data di atas, terlihat secara sahih bahwa Bojonegoro menjadi wilayah paling luas (2,307.06 km2), sekaligus paling besar prosentasenya (10,84 persen). Bojonegoro berada jauh di atas Lamongan, Tuban, dan Gresik. Bahkan, dominasi Bojonegoro terhadap sungai Bengawan, 53 kali lipat dominasi Surakarta (Solo) yang hanya 44,03 km / 0,21 persen.
Identitas Bojonegoro sebagai imperium pengendali Bengawan, memiliki landasan historis dan literatur yang cukup kuat. Sejak masih bernama Jipang, Bojonegoro sudah identik sebagai pengendali Hulu (Wonogiri) dan Hilir (Gresik). Seperti disinggung Thomas Raffles dalam History of Java, makmur tidaknya Hulu dan Hilir Bengawan, tergantung Jipang (Bojonegoro).
Landasan Historis
Bojonegoro (Jipang) merupakan pewaris Wangsa Bengawan, penguasa maritim sungai yang kedigdayaannya tercatat empiris sejak masa pemerintahan Raja Airlangga (Medang Kahuripan), masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana (Singashari), hingga masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Majapahit).
Jipang (Bojonegoro) punya kontribusi besar bagi denyut nadi Nusantara. Secara ilmiah, ini bisa dilihat melalui Prasasti Pucangan (1041 M), Prasasti Maribong (1248 M), dan Prasasti Canggu (1358 M). Tiga prasasti yang ditulis secara urut pada abad 11 M, 13 M, dan 14 M itu, menyebut digdayanya Jipang (Bojonegoro) sebagai pengendali maritim sungai.
Di setiap Kemaharajaan, Jipang selalu menjadi vasal Istimewa. Pada era kemaharajaan Kahuripan, Singashari, dan Majapahit misalnya, Jipang dikenal sebagai vasal Brahmana. Vasal yang tak dipimpin seorang Bhre (Bathara), tapi dipimpin Brahmana. Sehingga, Jipang memiliki hak otonom mengelola wilayah sendiri.
Jipang sebagai entitas Wangsa Bengawan, merupakan penyeimbang peradaban Pesisir dan Pegunungan. Penyeimbang Sriwijaya dan Medang Kuno, seperti disinggung dalam Prasasti Pucangan (1041 M). Pemersatu Jenggala dan Panjalu, seperti disinggung dalam Prasasti Maribong (1248 M).
Maka bukan kebetulan jika dalam Prasasti Canggu (1358 M), Raja Hayam Wuruk Majapahit memberi banyak titik Naditira Pradesa (Pelabuhan Sungai). Penguasa terbesar Majapahit itu, menetapkan Jipang sebagai wilayah paling banyak Pelabuhan Sungainya, dibanding wilayah lain.
Seperti dicatat J. Noorduyn dalam Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1358, ada sebanyak 17 pelabuhan Naditira Pradeca di wilayah Jipang. Titiknya tersebar dari Jipang Hulu (Margomulyo) hingga Jipang Hilir (Baureno). Artinya, Jipang memiliki paling banyak Naditira Pradeca dibanding wilayah-wilayah lain yang juga dilintasi Sungai Bengawan.
Prasasti Canggu (1358 M) yang ditulis Raja Hayam Wuruk dan dikeluarkan secara resmi oleh Kerajaan Majapahit itu, telah memperkuat trademark Jipang sebagai Nadikerta (Kota Bengawan). Tlatah pengendali buasnya sungai. Wilayah yang mampu menjadikan sungai sebagai musabab kemakmuran.
Denyut Nadikerta
Nadikerta bermakna Kota Sungai. Tentu, istilah ini merepresentasikan Jipang yang pernah menjadi penguasa imperium Bengawan sejak abad 11 M. Nadikerta jadi bukti penting bahwa Bojonegoro merupakan wilayah krusial, pengendali dan penentu denyut nadi perekonomian. Seperti disinggung Peter Carey dalam bukunya, The Power of Prophecy.
Dalam konteks Nadikerta, sungai Bengawan merupakan SDA paling bisa diandalkan Bojonegoro. Literatur mencatat, sungai Bengawan mampu memaksimalkan potensi hutan jati dan tembakau Bojonegoro. Jati dan tembakau Bojonegoro, bisa masyhur hingga Eropa dan Cina, berkat keberadaan Sungai Bengawan.
Menghidupkan Nadikerta
Dengan jasa dan kontribusinya yang cukup besar, keberadaan sungai Bengawan memang sempat terabaikan. Ia hanya diingat sebagai penyebab banjir dan kekacauan. Padahal, sejarah mencatat, sungai Bengawan sebagai medium pembawa ilmu, peradaban, dan kemakmuran.
Karena itu, sudah waktunya Pemkab Bojonegoro menghidupkan kembali konsep Nadikerta. Pemkab harus mulai memikirkan ekonomi-kesejahteraan berbasis sungai Bengawan. Setidaknya, istilah Nadikerta sebagai identitas kemakmuran Bojonegoro, harus dimunculkan.
Istilah Nadikerta harus diingat generasi penerus, sebagai bukti betapa baiknya hubungan leluhur dengan alam. Pada Era Digital ini, istilah Nadikerta bisa dikemas secara menarik sebagai slogan berdasar empat pilar kemakmuran: Nata Diraya, Keramat Tanggap.