Mereka yang pernah menulis, pasti pernah menjalani proses benturan hebat di kepalanya. Pernah mengalami pembentukan keberanian, dan pernah merasakan sedihnya dilupakan.
Acara diskusi jurnalistik pergerakan bertajuk “diawali dengan bacaan dan diakhiri dengan tulisan” diselenggarakan PK PMII Sunan Giri Bojonegoro pada (14/12) kemarin, tak hanya membahas bermacam jenis tulisan, tapi juga membeber teknik melawan sedihnya ditinggalkan mantan.
Sebagai aktivis yang tergolong progresif, militan dan agak kesepian, saya benar-benar tertantang untuk menulis apa yang saya saksikan pada saat mengikuti acara diskusi yang diselenggarakan di Aula PCNU Bojonegoro tersebut. Terlebih, saya sebagai Ketua Panitia.
Dalam acara tersebut, hadir sebagai pemateri adalah Wahyu Rizqiawan dari Jurnaba.co, ia membahas bermacam jenis tulisan berbasis perspektif yang meliputi Opini, Esai, Kolom dan Artikel. Menurutnya, tiap tulisan yang berbasis sudut pandang, pasti masuk salah satu dari empat mazhab tulisan perspektif.
“Yang penting nulis dulu, tidak perlu bingung dengan mazhab maupun jenisnya.” Kata Mas Rizqy.
Menurutnya, menulis memang bukan perkara mudah. Sebab butuh keberanian untuk salah dan terlihat aneh. Tapi, bukan berarti dihindari. Tapi justeru harus diawali.
Sialnya, yang namanya mengawali pasti sulit. Seperti saat kita ingin mengawali berkenalan pada seseorang: butuh keberanian.
Menurut pemateri, segala sesuatu memang harus diawali, terlepas bagaimanapun akhirnya (hasilnya). Seperti halnya perasaan cinta, ia harus diungkapkan. Masalah ditolak atau diterima, itu urusan belakangan.
Jadi, mengawali itu memang sangat penting. Sebab, bagaimana bisa mencipta sebuah karya jika tidak pernah mengawalinya?
Dalam diskusi yang amat santai dan penuh guyonan tersebut, ada hal yang sangat menarik dan sulit dilupakan. Bukan soal apa yang didiskusikan. Tapi lebih pada soal moderator yang membawakan acara diskusi. Ya, si moderator adalah sahabat Joko Kuncoro.
Joko baru beberapa hari putus dari pacarnya. Iya, dia sedang patah hati. Tapi, Joko tetap terlihat tegar saat memoderasi acara diskusi. Bahkan, senyum lebar pun masih tampak di wajahnya. Meski sesungguhnya, dia menggendong kesedihan.
Dari sana, diskusi pun melebar ke berbagai arah. Bahkan mengarah pada cara menyikapi rasa sedih akibat patah hati, menggunakan tulisan. Sebab, menurut pemateri, patah hati bisa jadi semacam wasilah untuk mengawali proses menulis.
Dengan patah hati, perasaan kian tajam. Kian banyak hal yang bisa dimuntahkan dari kepala. Muntahan-muntahan itulah, disadari atau tidak, bisa jadi tinta emas sebuah tulisan.
Tapi, kata Mas Rizqy, menulis tidak perlu menunggu sedang patah hati. Dalam keadaan sedih maupun bahagia, menulis tetap bisa dilakukan. Asal mau mengawalinya, dan berniat menyelesaikannya.
Dalam acara itu, kata-kata populis dari sosok Tan Malaka: Terbentur, Terbentur, Tebentur dan Terbentuk pun, berubah menjadi Terbentur, Terbentuk dan Terlupakan sebagai cermin atas apa yang Joko rasakan.
Terbentur untuk bertemu, terbentuk perasaan cinta, lalu terlupakan oleh cahe entah karena apa.
Tapi, Joko tetap tersenyum. Joko tetap tegar. Sebagai Wakil Ketua 1 PK PMII Sunan Giri, dia tetap berdada jembar. Sebab dia yakin bahwa proses terbentur, terbentuk dan terlupakan adalah fase yang wajar dialami manusia dalam hidup.
Terlebih, mereka yang pernah menulis, kata pemateri, pasti pernah menjalani proses benturan hebat di kepalanya. Pernah mengalami pembentukan keberanian, dan pernah merasakan sedihnya dilupakan.
Benturan hebat di kepala tentu bukan membentur-benturkan kepala di tembok. Tapi benturan antara keyakinan dan keraguan, yang akhirnya membentuk keberanian untuk mengambil keputusan, dan siap melawan sedih jika ia dilupakan.
Karena itu, di dalam proses menulis, terbentur, terbentuk dan terlupakan adalah sesuatu yang wajar. Sesuatu yang normal. Seperti halnya datangnya perasaan sedih saat teringat seorang mantan.