Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon

Choirul Anam by Choirul Anam
20/05/2025
in Cecurhatan
Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon

Ilustrasi: Ekoteologi Jurnaba

Suatu pagi, saya duduk di bawah pohon mangga tua di belakang rumah sambil menemani anak saya yang sedang belajar daring. Ia membaca pelajaran IPA tentang daur air dan pelajaran agama tentang amanah. Di sela-sela itu, ia bertanya, “Pak, kalau bumi rusak, berarti kita enggak amanah ya?” Saya tertegun. Ternyata pohon mangga itu lebih banyak bicara ketimbang layar laptop: ia mengajarkan bagaimana bumi dan langit terhubung lewat tetes hujan, akar, dan doa-doa yang tak bersuara.

Baca Juga: Ekosufisme Al Ghazali, Etika Ekologi Sang Hujjatul Islam 

Pertanyaan anak itu membawa saya merenung lebih dalam: di mana posisi lingkungan hidup—atau lebih luas lagi, alam semesta—dalam kurikulum pendidikan kita? Dan apakah mungkin menghadirkan kesadaran ekologis yang sekaligus spiritual? Di sinilah konsep ekoteologi layak kita bahas, dan bahkan, kita perjuangkan masuk ke dalam kurikulum pendidikan.

Apa itu Ekoteologi?

Ekoteologi bukan sekadar pernik intelektual eko (ekologi) dan teologi (ketuhanan). Ini adalah sebuah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa tunggal atasnya. Dalam banyak tradisi keagamaan, alam adalah ciptaan Tuhan, dan manusia diberi tanggung jawab bukan untuk mengeksploitasi, melainkan merawatnya. Dalam Islam, konsep khalifah—pemimpin di bumi—datang dengan tanggung jawab moral dan spiritual terhadap lingkungan.

Baca Juga: Ekosufisme Syyed Hossein Nasr 

Dalam tradisi Kristen, dikenal konsep stewardship, yaitu pengelolaan bumi sebagai bentuk pengabdian pada Sang Pencipta. Bahkan dalam kepercayaan lokal Nusantara, banyak kearifan yang memuliakan hutan, gunung, dan sungai sebagai entitas yang hidup dan harus dihormati.

Namun, realitasnya, sistem pendidikan kita belum benar-benar menangkap semangat ini.

Kurikulum yang Terpisah dari Alam

Mari kita tengok buku pelajaran kita. Dalam pelajaran IPA, anak-anak diajarkan tentang pencemaran, daur ulang, dan jenis-jenis tumbuhan. Di pelajaran agama, mereka belajar rukun iman, ibadah, dan akhlak. Sayangnya, jarang sekali kedua bidang itu disambungkan. Jarang sekali dijelaskan bahwa mencemari sungai bisa menjadi bentuk pelanggaran etika spiritual. Atau bahwa menanam pohon bisa menjadi bentuk ibadah. Ini bukan soal “menambah muatan pelajaran,” tapi soal mengubah paradigma.

Baca Juga: Suluk Ekologi, Paradigma Pendidikan Masa Depan 

Kurikulum kita selama ini bersifat antroposentris: manusia sebagai pusat segalanya. Alam dianggap sebagai objek yang bisa ditakar dan diukur. Padahal, dalam perspektif ekoteologi, alam adalah subjek yang harus dihargai. Ini sangat penting di tengah krisis iklim, deforestasi, dan polusi yang semakin parah. Pendidikan kita tak cukup hanya membentuk siswa yang “pintar menghitung karbon,” tapi harus melahirkan generasi yang mencintai bumi sebagai bagian dari imannya.

Menyambungkan Ilmu dan Iman

Mengintegrasikan ekoteologi ke dalam kurikulum bukan berarti menjadikan semua pelajaran bernuansa religius. Ini lebih soal menghadirkan kesadaran bahwa ilmu dan iman tidak bertentangan, bahkan bisa saling menguatkan. Pelajaran geografi bisa membahas kerusakan lingkungan sebagai akibat dari keserakahan manusia. Pelajaran sejarah bisa membahas kolonialisme yang mengeksploitasi sumber daya alam. Pelajaran seni bisa mengajak siswa mengekspresikan cinta pada alam lewat puisi atau gambar.

Baca Juga: Berkomunikasi dengan Pohon sebagai Warisan Leluhur 

Ada beberapa contoh baik yang bisa dijadikan rujukan. Di India, sekolah-sekolah yang berbasis nilai Gandhi mulai menerapkan pembelajaran ekologis berbasis spiritualitas. Di Indonesia, pendekatan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal seperti yang dilakukan di Sekolah Adat Rimba Balingtan di Kalimantan memperlihatkan bahwa kearifan lokal dan nilai spiritual bisa menjadi dasar pendidikan lingkungan yang kuat.

Literasi Ekologis yang Membumi

Menurut David Orr, seorang pemikir pendidikan lingkungan, “Crisis of education is a crisis of perception.” Artinya, krisis ekologi yang kita hadapi hari ini adalah akibat dari cara kita memandang dunia. Jika sejak kecil kita diajari bahwa alam adalah sekadar sumber daya, maka besar kemungkinan kita akan menjadi dewasa yang serakah. Tapi jika sejak kecil kita belajar bahwa alam adalah saudara tua, maka kita akan tumbuh dengan respek dan empati ekologis.

Karenanya, literasi ekologis tak bisa berdiri sendiri. Ia harus disambungkan dengan narasi besar: narasi spiritualitas, etika, dan tanggung jawab sosial. Ekoteologi bisa menjadi jembatan itu.

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?

Pertama, kementerian pendidikan dan kebudayaan perlu mulai mengintegrasikan ekologi dalam pembelajaran lintas mata pelajaran. Bukan sebagai mata pelajaran tambahan, tapi sebagai nilai lintas kurikulum.

Kedua, guru-guru perlu dilatih untuk melihat pengajaran dari lensa yang lebih luas. Mengajarkan matematika dengan studi kasus polusi udara. Mengajarkan agama lewat diskusi tentang tanggung jawab terhadap alam. Mengajarkan seni lewat daur ulang dan pertunjukan bertema lingkungan.

Ketiga, sekolah-sekolah perlu menjadi ruang yang tidak hanya mengajarkan cinta lingkungan, tapi juga mempraktikkannya—dengan kebun sekolah, pengelolaan sampah, dan keterlibatan komunitas dalam proyek-proyek ekologis.

Terakhir, orang tua dan masyarakat juga harus ikut serta. Karena pendidikan sejati tidak hanya terjadi di ruang kelas, tapi juga di rumah, di lapangan, dan—seperti saya alami—di bawah pohon mangga.

—

Kurikulum yang kita susun hari ini bukan sekadar soal nilai rapor anak-anak kita, tapi tentang arah masa depan umat manusia. Apakah kita ingin mencetak generasi yang sekadar mengejar capaian akademik, atau mereka yang punya iman, ilmu, dan cinta pada bumi tempat kita berpijak bersama?

Mungkin saatnya kita belajar lagi dari pepohonan. Ia tumbuh diam-diam, tapi menyejukkan. Akar-akarnya masuk ke dalam tanah, tapi daunnya memeluk langit. Seperti itulah semestinya pendidikan kita—membumi, tapi sekaligus menjulang. Dan mungkin, lewat ekoteologi, kurikulum kita bisa menjadi lebih manusiawi, lebih spiritual, dan lebih lestari.

Tags: Ekosufisme JurnabaEkoteologi JurnabaMakin Tahu IndonesiaSuluk Ekologi
Previous Post

Dorong Metode Penghidupan Berkelanjutan, BI Gelar Pelatihan Sustainable Livelihood

Next Post

Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

BERITA MENARIK LAINNYA

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis
Cecurhatan

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

17/11/2025
Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?
Cecurhatan

Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

15/11/2025
Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik
Cecurhatan

Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik

14/11/2025

Anyar Nabs

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

17/11/2025
PKB Bojonegoro Gelar Tasyakuran atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Di Gedung DPRD 

PKB Bojonegoro Gelar Tasyakuran atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Di Gedung DPRD 

15/11/2025
Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

15/11/2025
Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik

Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik

14/11/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • JURNAKOLOGI
  • SUSTAINERGI
  • JURNABA PENERBIT

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: