Jurnaba ibarat pohon rindang pemberi keteduhan. Sebuah ruang yang tak hanya tempat untuk bekerja dan bertahan hidup. Tapi juga wadah pergerakan. Sekaligus wasilah perjuangan.
Mengingatkan kebaikan dan memotivasi orang lain untuk berbuat baik, atau berpesan optimistis pada orang lain, kadang menjadi perkara yang amat klise. Sialnya, pada konteks tertentu, saya orang yang agak menjauhi perkara klise.
Seorang pesimis, menurut hemat saya, amat wagu ketika dia tiba-tiba menjadi motivator dan mengumbar kalimat-kalimat motivasional. Meski begitu, melalui konsep pesimisme defensif, seorang pesimis ternyata bisa menjadi sosok yang amat optimistis.
Mengingatkan kebaikan dengan cara yang tak vulgar dan memberi pesan optimistis dengan cara yang tak vulgar, mungkin menjadi formula yang pas untuk menggambarkan konsep yang dipeluk Jurnaba.
Serupa metode Dekonstruksi Jacques Derrida, Jurnaba adalah metode pembacaan teks. Upaya membaca sebuah teks (keadaan) dengan bermacam sudut pandang. Semacam selalu ada jalan untuk memaknai keadaan dengan cara yang membahagiakan.
Jurnaba membaca keadaan baik dengan cara baik, lalu mengabarkannya secara membahagiakan. Jurnaba juga membaca keadaan buruk dengan mengambil hikmah baik, lalu mengabarkannya secara menyenangkan.
Sebab hidup kadang amat menjengkelkan dan menyebalkan dan sekaligus menyedihkan. Dan di tengah sumpeknya kefanaan hidup yang seperti itu, tak ada cara lain selain berupaya membaca teks (keadaan) dengan bermacam sudut pandang, sehingga tetap bisa dinikmati.
Salah jika Jurnaba hanya mengabarkan kebaikan-kebaikan. Jurnaba, tak hanya mengabarkan kebaikan, tapi juga berupaya mengolah keburukan menjadi sesuatu yang layak dikabarkan secara menyenangkan. Sebab dalam hidup, sudah terlalu banyak yang tak menyenangkan. Dan bukankah hidup terlalu singkat untuk kerap menerima sesuatu yang tak menyenangkan?
Jurnaba bukan sebuah media dalam konteks sempit. Jurnaba sebuah platform atau ruang atau panggung atau wasilah untuk mengabarkan perihal inspirasional dengan beragam cara dan penggambaran.
Kalaupun Jurnaba dianggap sebuah media berbasis kaidah jurnalistik, Jurnaba memeluk konsep Jurnalisme Konstruktif sebagai prinsip dan pegangannya. Dalam konsep ilahiah, Jurnaba memilih jalan amar ma’ruf, bukan nahi mungkar.
Seán Dagan Wood, Pemimpin Redaksi The Positive News, dikutip dari The Guardian mengungkapkan, Fokus industri berita pada kabar buruk biasanya bertujuan baik. Yakni komitmen utama sebagai kontrol sosial (society’s watchdog). Namun, bagi media massa tertentu, mentalitas itu sudah melenceng terlalu jauh.
Sebab, di tengah merebaknya media sosial dan media online berbasis blogspot, banyak sekali oknum yang memanfaatkan kecemasan dan ketakutan dan kekalutan pembaca untuk mendulang untung. Semakin buruk berita yang disajikan, semakin besar bargaining power untuk mengancam sekaligus mengeruk keuntungan.
Sedang pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford, dikutip dari artikel The Guardian berjudul And now for the good news: why the media are taking a positive outlook menjelaskan, dari dulu berita berpusat pada hal-hal negatif karena berhubungan dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensinya, secara umum, berita negatif lebih menarik perhatian.
Bagi industri yang berjualan “perhatian publik”, menarik perhatian adalah tujuan utama. Sehingga, asal mampu menarik perhatian publik, menjual kecemasan dan ketakutan pun layak dilakukan. Sayangnya, porsinya berlebih.
Dan sesuatu yang berlebih, tuan-puan tahu, pasti tidak baik dan memicu bencana. Karena itu, dengan keyakinan seorang anak kecil yang siap disunat, Jurnaba memilih jalur berbeda. Jurnaba memilih jalan amar ma’ruf.
** **
Hari ini adalah awal Januari tahun kedua, setelah saya, bersama teman-teman, mendirikan dan menjalankan Jurnaba. Sebuah ruang yang tak hanya untuk bekerja dan bertahan hidup. Tapi juga ruang movement. Wadah pergerakan. Sekaligus wasilah perjuangan.
Kiai saya pernah berpesan, hidup yang tidak digunakan berjuang memang enak, tapi nilai dan derajat hidupnya berbeda. Dan berjuang, kata Kiai saya lagi, bisa dilakukan dengan beragam wujud dan cara, asal niatnya beribadah dan berjuang.
Karena yang saya bisa hanya menulis — itu pun tak bagus-bagus amat — saya pun memutuskan untuk berjuang melalui wasilah tulisan. Itu kenapa Jurnaba berwarna hijau yang meneduhkan dan diberi nama Jurnaba. Sebab ia mengandung perjuangan ideologis.
Jurnaba tentu bukan istilah yang punya akar kata. Ia sekadar lema yang lahir dari bisikan angin tanpa makna. Frasa jurnalisme baik dan jurnalisme bahagia, sesungguhnya hanya proses mengawamkan istilah belaka, agar mudah dipahami.
Jurnaba, justru lebih dekat dengan kata cilukbaa. Saat seseorang bilang “cilukbaa“, baik yang mengatakan maupun yang mendengarkan, pasti merasakan suasana hati yang tenteram, hangat dan senang. Sesederhana itu kata Jurnaba berasal.
Jurnaba lahir dari cita-cita sederhana. Mengajak orang untuk memikirkan sekaligus mengabarkan hal-hal kecil, hal-hal yang dekat, tapi kerap luput dari pandangan mata. Padahal sesungguhnya, dari perihal kecil dan dekat itulah, kebahagiaan bisa tercipta.
Proses mengajak orang memikirkan (membaca) dan mengabarkan (menulis) perihal kecil, sesungguhnya adalah upaya syiar literasi. Sebuah upaya syiar yang tak hanya tersirat, namun juga tersurat secara jelas.
Setahun lebih tentu bukan waktu yang singkat. Banyak kesulitan dan rintangan yang dihadapi. Tapi, serupa keajaiban manusia yang bisa lahir, tumbuh dan hidup di muka bumi, selalu ada jalan untuk tetap berdiri dan terus menghidupi.
Ada keyakinan dalam hati kecil saya bahwa kelak, entah kapan, Jurnaba yang kini masih kecil-saja-belum ini, bisa menjadi besar. Bisa menjadi rindang pohon yang meneduhkan, baik bagi mereka yang memandang dari kejauhan, maupun mereka yang ada di bawah naungannya.