Berdasarkan survey secara tidak mendalam, di Bojonegoro, usia ideal menikah seorang lelaki adalah 25-30 tahun. Sedangkan saya yang sudah berusia 31 tahun ini, jangankan menikah, pacaran saja belum (heeeeh). Walaupun baru telat setahun, tetap saja ini merisaukan o̶r̶a̶n̶g̶ ̶t̶u̶a̶ saya.
Sesekali ortu saya ngasih kode keras agar saya bawa calon mantu ke rumah. Tapi, seperti yang sudah-sudah, saya hanya mendengarkan dengan penuh takzim. Bukan tanpa alasan saya belum membawa calon mantu ke rumah. Sebab, pantang bagi saya membawa perempuan ke rumah jika tidak menikahinya.
Sejujurnya, ada banyak hal yang jadi sebab saya telat nikah. Namun, tersangka utamanya hanya ada dua: musik dan film. Ibaratnya, saya sudah menjadikan dua hal itu sebagai istri muda dan istri tua. Poligami Passion di dua hobi itu membekukan langkah saya menempuh jenjang asmara.
Saya bukannya cari-cari alibi. Dua hal itu memang sudah menjadi hobi sejak kecil. Utamanya film. Kata ibu, saya memperoleh hobi itu dari bapak. Konon, waktu muda, bapak menghabiskan separuh hidupnya di depan televisi. Film-film di semua channel tivi bapak lahap habis setiap harinya.
Sebagi generasi 90-an awal, saya mengawali perjumpaan saya dengan film di layar televisi. Bagi kalian yang lahir di era yang sama, pasti merasakan sensasi masa kecil dengan menantikan layar emas RCTI setiap jam delapan malam (yang harus kepotong berita malam), maraton kartun minggu pagi, hingga serial-serial legendaris sore hari yang membuat kita bolos mengaji.
Tidak berhenti di acara tivi, saya semakin intens bermesraan dengan film ketika menginjak usia sekolah dasar. Waktu itu bapak kerap mengajak saya pergi ke bioskop setiap malam minggu. Atau setiap ulangan harian saya mendapatkan nilai bagus.
“Sinau sing rajin le, mengko nek nilai ulangane oleh satus, bapak ajak nonton bioskop.” Begitu bapak selalu berpesan kepada saya. Dan ketika nilai ulangan saya sempurna, bapak menepati janjinya, tanpa harus menunggu malam minggu.
Saat itu, satu-satunya bioskop di Bojonegoro ada di Gedung Pakri. Bangunan tua yang kini sudah beralih fungsi menjadi kafe itu terletak di pertumpuan Jalan Kartini dengan Jalan Teuku Umar. Lumayan dekat dengan rumah saya yang saat itu berada di Jalan Rajawali. Seringkali saya hanya berjalan kaki untuk dapat menjangkaunya.
Bioskop Pakri sangat ikonik di Kota Bojonegoro saat itu. Saya teringat kol kuning atau angkutan kota yang sering disewa bioskop untuk iklan. Di bagian belakang angkutan umum berwarna kuning itu terpampang poster film berukuran jumbo. Sambil berkendara keliling kota, mobil itu mengumumkan jadwal film yang akan tayang di bioskop pada akhir pekan.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, saksikanlah penayangan film Jurassic Park pada hari minggu tanggal 20 November Hanya di bioskop Pakri Jalan Teuku Umar Bojonegoro.” Begitu kata petugas bioskop melalui TOA.
Selain kol kuning, yang terekam kuat di ingatan saya tentang bioskop Pakri adalah dumbek. Makanan tradisional berbahan dasar tepung beras dan dibungkus janur (daun kelapa muda) itu dijual di trotoar gedung bioskop.
Penjualnya adalah bapak-bapak dengan membawa keranjang pikul sederhana. Pedagang itu selalu ngetem di depan bioskop setiap malam minggu tiba. Setiap selesai nonton film, saya dan bapak selalu membelinya.
Pakri, bagi saya, adalah gudang kenangan. Terminal perjumpaan saya dengan Jurassic Park, Batman, Rambo, Kungfu Master, Terminator dan film-film lain yang membuat masa kecil saya begitu bahagia. Dari kenangan-kenangan itulah rasa cinta saya terhadap film meluap.
Namun saya sadar, terlalu naif bagi saya untuk mengkambing-hitamkan film sebagai alasan belum menikah. Saya yakin, sebahagia-bahagianya nonton film sendirian, masih lebih bahagia jika nonton film ditemani pasangan.
Sebab, menonton film dengan pasangan akan membawa level kebahagiaan ke tahap yang berbeda. Dan mengenalkan perempuan ke keluarga besar adalah prioritas hidup saya saat ini.
Jadi, Dek, kapan siap saya ajak main ke rumah?
Comments 1