16 November selalu diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional (International Day for Tolerance). Peringatan ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1996. Terpatnya saat Majelis Umum PBB memproklamasikan Tahun PBB untuk Toleransi. Itu sesuai dengan yang terurai pada Deklarasi Prinsip-Prinsip tentang Toleransi.
Melansir lamar resmi PBB (un.org), peringatan ini sebagai komitmen PBB untuk memperkuat toleransi. Masyarakat dunia perlu memupuk rasa saling pengertian di antara budaya dan masyarakat. Ini sesuai dengan inti Piagam PBB. Juga, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Tentu peringatan ini menjadi penting. Pasalnya, terjadi peningkatan kekerasan ektremisme dan meluasnya konflik. Seperti yang terjadi di Timur Tengah akhir-akhir ini. Tentu peristiwa tersebut menjadi fokus utama. Bukti bahwa terdapat pengabaian mendasar terhadap kehidupan manusia.
Peringatan hari besar ini harus dicermati. Termasuk masyarakat Indonesia. Pasalnya, isu intoleransi sering muncul di halaman depan lini masa.
Misalnya, ramainya kabar pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahan. Hal itu mengudara setelah Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan rencana tersebut. Rencana tersebut dianggap menyerang suatu kelompok tertentu. Meski sempat terjadi gesekan pendapat, Fachrul Razi sudah menyampaikan permintaan maaf.
“Kalau itu menimbulkan beberapa gesekan-gesekan ya mohon maaf. Rasa-rasanya enggak ada yang salah rasanya. Mungkin saya mengangkatnya agak terlalu cepat,” katanya dikutip dari CNN Indonesia (5/11/2019).
Selain itu, sempat muncul polemik terkait penggunaan salam pembuka semua agama. Itu terkait imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur kepada para pejabat. Imbauan tersebut sebagai anjuran agar berhati-hati dalam persoalan akidah.
“Seorang Muslim harus berhati-hati di dalam berdoa dan jangan sampai dia melanggar ketentuan yang ada karena ketika dia berdoa maka dia hanya akan berdoa dan akan meminta pertolongan dalam doanya tersebut hanya kepada Allah SWT saja dan tidak boleh kepada lainnya,” kata Sekretaris Jendral MUI, Anwar Abbas dikutip dari Tempo (11/11/2019).
Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Suaedy menilai imbauan tersebut tidak perlu didengar. Landasan tersebut dianggap hanya membuat masyarakat bersitegang. Pasalnya, itu termasuk sentimen keagamaan. Menurut Suaedy, penggunaan salam semua agama tidak perlu dilarang atau diwajibkan.
“Hanya ngomporin orang untuk saling marah satu sama lain. Itu, kan, enggak berguna,” kata Suaedy dikutip dari Tirto (12/11/2019).
Berbeda dengan pendapat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) A. Helmy Faishal Zaini. Dia menilai salam dengan cara berbagai agama yang dilakukan pejabat pemerintahan sejatinya adalah upaya mempererat persaudaraan dan kebangsaan.
“Sepanjang seluruh yang diucapkan tidak bertentangan dengan niat, maka sepanjang itu pula kalimat yang menyatakan salam kebangsaan tersebut tidak akan mengganggu akidah dan teologi seseorang,” kata Helmy dikutip dari Tirto (12/11/2019).
Kasus intoleransi harus segera ditangani dan dihentikan. Jika tidak, tentu akan memicu yang lain. Pasalnya, efek domino sangat mungkin terjadi. Kelompok yang merasa dirugikan akan bergerak. Ini dapat berakibat serius. Misalnya perang saudara dan perselisihan yang akan berlarut-larut.
Kebebasan berpendapat harus dijamain. Namun, dengan ketentuan tidak melebihi batas. Toleransi tidak hanya berhenti pada sifat dan perilaku masyarakat. Ini harus menjadi budaya bangsa. Bahkan, perlakuan negara terhadap rakyat juga harus adil. Jangan sampai suatu kebijakan dinilai intoleran terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Peringatan hari internasional adalah kesempatan untuk mengedukasi publik. Khususnya tentang masalah-masalah intoleransi yang terjadi. Tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, tetapi bagi masyarakat global. Selain itu, juga untuk merayakan dan memperkuat pencapaian kemanusiaan.