Selain memiliki peran tertentu, ternyata Indonesia juga mendapat pelajaran berharga dari perang Ukraina vs Rusia.
Indonesia memiliki peran yang bisa diimplementasikan untuk berpartisipasi dalam mencegah timbulnya dampak perang yang lebih besar, antara Rusia dan Ukraina.
Salah satu tweet Presiden Joko Widodo misalnya patut mendapatkan apresiasi. Tweet tersebut berbunyi, “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia”.
Pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut tidak menyebut nama negara Rusia maupun Ukraina sebagai bentuk politik bebas-aktif Indonesia dalam hubungan internasional.
Mohammad Hatta (1948) dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung di antara Dua Karang” menegaskan bahwa, “Politik Indonesia bebas aktif artinya Indonesia dapat secara bebas menentukan sikap dan kebijaksanaannya sendiri dalam menghadapi permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri pada kekuatan mana pun”.
Hal ini menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan mengambil keputusan sendiri terkait hubungan luar negeri dan tidak dikendalikan oleh kepentingan politik dari negara lain.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menekankan pada “Setop Perang” sejatinya merupakan pernyataan yang sesuai dan bijak. Dengan tidak menyebut nama negara, Indonesia mendudukkan diri untuk tidak memihak pada Rusia maupun Ukraina.
Hal ini mempertegas bahwa Indonesia tidak membela Rusia maupun Ukraina, yang Indonesia bela adalah ketertiban dunia dan kemanusiaan pada umumnya.
Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945.
Peran Indonesia sejatinya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai organisasi internasional yang ada baik melalui PBB ataupun organisasi internasional yang lain.
Indonesia dapat memperjuangkan dihentikannya perang melalui Organisasi internasional lainnya seperti G-20 (The Group of Twenty). Hal ini dikarenakan Indonesia menjadi Ketua G-20 sebagaimana ditegaskan dalam KTT G20 di Roma, Italia pada 31 Oktober 2021.
Meski perjuangan melalui G-20 tidak dapat dilakukan secara langsung, namun upaya persuasif serta menggalang dukungan negara lain tetap diperlukan supaya perang antara Rusia dan Ukraina dapat dihentikan secepatnya.
Sebagai Ketua G-20, tentu Indonesia memikiki “sarana” untuk itu, meskipun sekali lagi perjuangan di G-20 untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina tidak dapat secara instan dilakukan.
Oleh karena itu, diharapkan Indonesia beserta negara lain dapat berkontribusi dalam upaya untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina baik melalui PBB ataupun organisasi internasional yang lain.
Pelajaran Bagi Indonesia
Nabs, konflik antara Rusia dan Ukraina dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia. Hal ini karena salah satu pemicu lahirnya konflik antara Rusia dan Ukraina adalah permasalahan kelompok separatis di Ukraina.
Indonesia pun juga mengalami hal serupa meskipun tidak separah sebagaimana yang terjadi di Ukraina.
Di Indonesia misalnya, masih terdapat Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tak jarang juga melakukan tindakan anarkis dan represif untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Tentu, jika hal ini tidak diantisipasi dan ditangani bukan tidak mungkin konflik internal dalam negeri dengan kelompok separatis berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan terutama jika pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) meminta bantuan kepada negara lain.
Tentu, potensi perang menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, Indonesia tetap tidak boleh takut dengan perang, tetapi jika terdapat cara yang lebih sesuai tanpa melalui perang tentu hal itu harusnya lebih diutamakan.
Sebaik apapun perang tetap saja ia adalah bencana kemanusiaan. Oleh karena itu, penulis berharap bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia tentunya dengan: (i) mengutamakan pendekatan preventif melalui dialog dan mediasi dengan gerakan separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), (ii) mengoptimalkan pelayanan publik serta mengentaskan kemiskinan terutama di daerah-daerah pedalaman.
Tidak dapat dipungkiri motivasi gerakan separatis salah satunya dilandasi oleh motif ekonomi dan adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya ekonomi, (iii) meningkatkan semangat kebangsaan Indonesia selaras dengan melestarikan identitas daerah lokal seperti: bahasa, upacara adat, tarian adat, kepercayaan lokal, serta identitas lokal lainnya, Nabs.
Masyarakat harus disadarkan dan diberdayakan bersama-sama bahwa semangat kebangsaan bukan berarti mereduksi identitas dan budaya lokal yang telah ada, serta (iv) melakukan langkah represif jika dirasa langkah preventif maupun langkah lainnya sudah menemui jalan buntu terhadap gerakan separatis dengan pendekatan militer serta mengoptimalkan komponen cadangan beserta segenap kekuatan dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan kekuatan TNI, Polri, dan Komponen Cadangan sebagai kekuatan utama serta rakyat sebagai kekuatan pendukung sebagaimana Pasal 30 ayat (2) UUD NRI 1945. Tentunya, langkah represif harus menjadi langkah terakhir (the last step) dalam menghadapi gerakan separatis dengan mengedepankan pendekatan preventif dan dialogis yang diutamakan.
Saya berharap, gagasan dan orientasi tersebut dapat diterapkan serta konflik antara Rusia dan Ukraina harus menjadi pelajaran bagi Indonesia, Nabs. Indonesia harus yakin bahwa dengan berdoa dan berusaha semoga saja konflik sebagaimana yang terjadi di Rusia dan Ukraina tidak terjadi di negeri tercinta.