Hidup tak semudah ucapan motivator. Tapi, hingga detik ini, toh kamu bisa melewati itu semua. Karena itu, teruntuk dirimu, terimakasih telah kuat menjalani hidup hingga hari ini dan nanti.
Sebermula hidup, kau sudah menjalani gladi resik kehidupan. Belajar telungkup, merangkak, jatuh, berdiri, jatuh lagi, hingga berani berjalan sendiri. Semacam sebuah simulasi bahwa dalam hidup, jatuh adalah keniscayaan.
Di sekolah, kau belajar tentang hukum gravitasi. Tentang benda-benda yang jatuh, pasti menempel bumi. Sepanjang itu juga, kau sering mengalami jatuh. Ketika belajar naik sepeda, jatuh. Ketika bermain bola, jatuh. Memanjat pohon bersama teman-teman, jatuh.
Pengalaman jatuhmu cukup banyak. Bekas lukamu juga cukup banyak. Hingga lama kelamaan, kau merasa jatuh menjadi perkara biasa untuk dihadapi. Tapi ada yang aneh. Saat dewasa, jatuh bukan lagi perkara tubuh. Tapi juga perkara pikiran, perkara mental.
Kau dihadapkan kenyataan bahwa kau hidup bersama banyak manusia. Dan semua yang hidup, punya kepentingan. Tak semua yang kau inginkan, diinginkan pula orang lain. Tuntutan sosial, norma, serta kehendak orang lain ternyata tak mampu kau abaikan begitu saja.
Banyak ihwal yang membuatmu terjatuh. Masalah keluarga, kehilangan, hingga dikhianati. Kau sudah berupaya menghindar, namun tetap saja terpapar serangkaian peristiwa yang mengoyak raga dan sanubari. Dan sialnya, tak ada yang bisa kau lakukan selain mengutuk diri sendiri.
Kau menemui banyak hal buruk. Ingin memperbaikinya, tapi justru tak mampu berbuat apa-apa. Kau sudah berupaya sembunyi. Namun, perihal perih tetap saja menemui dan terus menghantui. Di lain sisi, tumpukan masalah menggencet dan menusukmu dari berbagai arah.
Sambil menggendong rasa sakit, kau benar-benar membenci dirimu sendiri. Kau sempat ingin menyerah dan berhenti di sini. Menyublim bersama uap menjadi mendung lalu menjatuhkan diri sebagai hujan.
Hingga suatu hari, lewat kata-kata “mari berbagi rasa sakit,” seseorang menawarkan sebuah pelukan kepadamu. “Terimakasih telah menemukanku,” katamu. Dan kau tak lagi merasa sendirian.
Kau mulai menyadari bahwa dalam hidup, dirimu ibarat nelayan yang membutuhkan gelombang dan ombak dan angin untuk pulang ke daratan. Saat ini, kau hanya sedang berlayar. Tidak lebih dari itu.
Mungkin, kau hanya perlu menerima gelombang dan ombak dan angin itu sebagai proses yang melarungkan dirimu ke daratan. Sebuah tempat mendarat yang akan menjadi pijakan hidup di kemudian hari.
Di sana, ada tempat yang kelak kau sebut sebagai rumah. Penghuninya mencintaimu, menerimamu, dan menyembuhkan rasa sakitmu. Sebelum kamu sampai ke sana, kau terlebih dulu harus belajar mencintai, menerima, dan berupaya menyembuhkan diri.
Sehingga kau tahu bahwa kamu layak dicintai, kamu pantas diterima. Dan pantas berbahagia. Terluka itu wajar dan menyembuhkannya pun sebuah kewajaran. Teruntuk dirimu, terimakasih telah kuat menjalani hidup hingga hari ini, hingga nanti.