Big Bad Wolf (BBW) kembali digelar di Surabaya (4-14/10/2019). Ini kali kedua dia berkunjung ke lapak buku raksasa berjuluk Pameran Buku Terbesar Big Bad Wolf Book Sale tersebut.
Dan ini kali pertama baginya, memasuki sebuah pameran buku lalu njujuk rak buku dengan kategori non fiksi. Sebelumnya, dia selalu menempatkan kategori fiksi sebagai rak buku yang wajib dijujuk pertama kali.
Dia menjejakkan kaki di pelataran JX Jatim Expo, ranah di mana BBW digelar, tepat pukul 03.30 dini hari (12/10). Pukul 04.15, setelah kawannya datang, ia memasuki sebuah aquarium raksasa yang berisi buku sebagai ikan-ikannya.
“Ini mumpung sepi. Jam segini emang paling enak buat cari-cari buku bagus,” ucap kawannya.
Mereka berdua masuk dan berpencar mencari buku incaran masing-masing. BBW tahun ini, koleksinya lebih banyak dibanding tahun lalu. Jumlah judul bukunya juga amat beragam.
Bahkan, saking banyak dan beragamnya, ia menemukan buku bajakan di salah satu rak — sesuatu yang membuatnya langsung merasa ilfil dan mengantuk.
Dengan kondisi seperti tersengat belut listrik atau dicabik ikan hiu banteng, mereka berdua keluar dari BBW pukul 05.30, sambil menenteng kantong keresek berisi rasa ngantuk tak tertahankan.
Pukul 15.15, mereka berdua kembali masuk ke BBW. Suasananya berubah 180 derajat. Lokasi amat ramai. Banyak troli berjalan kesana kemari. Para pengunjung serupa anak kos yang 3 hari tidak makan, lalu ketemu ayam geprek: kalap.
Selain jumlah pengunjungnya berbeda dibanding saat dia berkunjung pada dini hari, dia merasakan satu hal lain yang juga berbeda. Yakni, banyaknya jumlah sales kartu kredit yang menyemut.
Salesman-saleswati itu tak henti-hentinya menggoda para pengunjung untuk membuka rekening baru. Sehingga alih-alih memilih dan membaca sinopsis buku, pengunjung justru menggelar diskusi dengan para salesman-saleswati tersebut.
Tiap kali dia menuju rak buku, selalu menemui salesman-saleswati yang tiba-tiba muncul dari celah-celah rak buku; lalu mengajak senyum, meminta didengarkan, dan merayu agar dia dan temannya membuka rekening baru.
“Jangan-jangan jumlah mereka sebanyak judul buku, atau mereka bisa menggunakan jurus Kage Bunshin No Jutsu?” ucap kawannya tertawa sambil menenteng bermacam judul buku.
Singkat cerita, dua kawan itu mencari-cari buku sekaligus menghindari terkaman para pemburu nasabah baru. Dengan kecepatan ninja, mereka berdua mengumpulkan sejumlah buku bagus dengan harga murah untuk dibawa pulang ke rumah.
Mereka berdua memang bersemangat membeli buku. Tapi, untuk urusan membaca, bisa jadi tak sesemangat seperti saat membeli buku. Entah apa yang merasuki mereka saat melihat ada buku-buku baru.
Yang Perlu Diperbaiki dari BBW Surabaya
Big Bad Wolf memang menjadi muara bagi para pemburu buku. Di Surabaya, setiap pameran itu digelar, selalu disesaki pengunjung. Padahal, Surabaya sudah banyak toko buku. Ini menunjukkan betapa minat baca masyarakat Indonesia, khususnya Surabaya dan sekitarnya, cukup besar.
Kehadiran Big Bad Wolf yang identik buku bermutu dengan harga cukup murah, tentu patut disyukuri. Meski dilaksanakan setahun sekali. Namun, kehadirannya pun tak lepas dari kritik.
Faqih dan beberapa pengunjung mengeluh soal parkir. Sebab, setiap ada gelaran BBW, selalu diikuti antusiasme masyarakat yang besar. Hanya, antusias besar itu tak diikuti manajerial parkir kendaraan.
“Masalah parkir menjadi urusan tidak sederhana dan harus diperbaiki,” katanya.
Buruknya manajemen parkir memicu kemacetan. Selain itu, memicu munculnya banyak pemarkir-pemarkir independen. Karena lokasi berada di jalan besar, macet pun mudah terjadi. Andai parkir diberi perhatian khusus, tentu para pengunjung bisa merasa lebih nyaman.
Muhammad Subki dan dua orang kawannya mengeluh soal banyaknya jumlah sales Bank yang ada di lokasi. Saat para pengunjung BBW memburu buku, para sales itu memburu pemburu buku untuk dijadikan nasabah baru.
“Memang tidak terlalu mengganggu, tali kalau kebanyakan ya sangat mengganggu,” ucapnya.
Dia bercerita jika selama kurang lebih setengah jam di dalam BBW, sudah ada sekitar 5 sales yang menemuinya untuk ngobrol soal rekening dan kartu kredit. Tentu saja itu mengganggu. Membuatnya tak fokus mencari buku.
Pemburu Buku dan para Tsundoku
Tsundoku menjadi istilah yang tak asing bagi para pemburu buku. Sebab, para pemburu buku, bisa jadi adalah sosok Tsundoku. Tsundoku adalah istilah untuk menggambarkan keadaan memiliki bahan bacaan, tetapi membiarkannya menumpuk tanpa membacanya.
Istilahnya, membeli buku untuk menumpuknya, alih-alih membacanya. Tsundoku merupakan umpatan asal Jepang pada zaman Meiji. Tsun-doku. Berasal dari “tsunde-oku” (dibiarkan menumpuk untuk nanti, lalu pergi) dan “dokusho” (membaca buku).
Hampir para pemburu buku, punya potensi menjadi Tsundoku. Yakni, membeli tapi lupa kapan membacanya. Sebab, bagi para Tsundoku, bisa mendapat buku incaran saja sudah sangat bahagia.
Dan orang-orang yang berkunjung ke BBW, bisa jadi adalah para Tsundoku. Termasuk penulis artikel ini.