Beberapa waktu lalu, Kabupaten Bojonegoro digegerkan Surat nomor 141/501/412.411.2001/2021 yang memiliki kop surat resmi Pemerintah Desa Banjarsari. Lantas, ada apakah dengan surat tersebut?
Nabs, surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro. Surat bertanggal 26 April 2021 tersebut menjadi viral di masyarakat karena perihal surat tersebut menyatakan secara tegas adanya permohonan bantuan bingkisan hari raya.
Menurut penuturan Fatkhul Huda selaku Kepala Desa Banjarsari, surat tersebut memang benar adanya serta ditujukan kepada 7 pelaku usaha yang ada di Desa Banjarsari, Kacamatan Trucuk, Bojonegoro.
Selain itu, Fatkhul Huda selaku Kepala Desa Banjarsari juga menegaskan bahwa surat tersebut berisi tiga lembar kertas yang pada intinya berisi proposal permohonan bantuan bingkisan sukarela lebaran.
Meski terdapat ‘embel-embel’ sukarela dan dianggap tidak bersifat memaksa, namun surat tersebut kemudian viral di media sosial serta mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat pengguna media sosial.
Tulisan ini berupaya melihat fenomena surat permohonan bantuan bingkisan sukarela lebaran dalam perspektif relasi kuasa pejabat publik serta keabsahan surat permohonan bingkisan hari raya.
*Relasi Kuasa Pejabat Publik dan Tipologi Korupsi*
Pemerintah desa khususnya Kepala Desa sejatinya merupakan pejabat publik yang dipilih secara langsung oleh warga desa untuk mengemban amanah dalam memimpin serta melaksanakan kebijakan desa.
Sebagai pejabat publik, tentunya Kepala Desa harus mampu menjadi pelayan, teladan, serta taat terhadap hukum dan etika pejabat publik.
Tugas menjadi pelayan dimaksudkan supaya Kepala Desa harus mampu menjadi pamong praja yang orientasi pelayanannya berupa perasaan puas dan bahagia masyarakat.
Sebagai pelayan masyarakat, tentunya pamong praja harus melayani secara tulus, ikhlas, bahkan tidak boleh meminta imbalan baik dalam bentuk apapun yang bertendensi gratifikasi.
Dalam hal ini, sebagai pelayan Kepala Desa haruslah berfokus pada pelayanan yang prima, optimal, serta maksimal kepada seluruh masyarakat desa.
Selain menjadi pelayan, Kepala Desa dan pejabat publik juga dituntut untuk menjadi teladan di masyarakat. Dalam hal ini, setiap tindakan maupun perbuatan dari Kepala Desa dan pejabat publik pada umumnya hendaknya mencerminkan uswatun hasanah kepada masyarakat sehingga diharapkan dapat menjadi contoh yang baik di masyarakat.
Tugas Kepala Desa dan pejabat publik sebagai teladan di masyarakat sejatinya sebagaimana yang disampaikan oleh Cicero dalam bukunya yang berjudul De Legibus, bahwa, “Plus exemplo quam peccato nocent”, yang berarti bahwa teladan yang buruk lebih berbahaya dan merusak daripada dosa.
Maksudnya bahwa, jika Kepala Desa dan pejabat publik tidak mampu memberikan contoh serta teladan yang baik di masyarakat, maka hal tersebut sejatinya lebih hina dan berbahaya daripada tindakan dosa.
Selanjutnya, selain memiliki tugas sebagai pelayan dan teladan di masyarakat, Kepala Desa dan pejabat publik pada umumnya seyogianya juga dituntut untuk selalu taat pada hukum dan etika pejabat publik.
Dalam ketaatannya pada hukum, Kepala Desa dan pejabat publik tidak hanya dituntut untuk taat pada hukum positif yang berlaku, tetapi termasuk juga taat pada asas-asas hukum serta menjalankannya dalam praktik.
Beberapa asas hukum yang perlu dijalankan diantaranya adalah asas wetmatigheid van bestuur yang juga harus dibaca secara luas termasuk pada aspek doelmatigheid serta rechtmatigheid, sehingga termasuk juga ketaatan terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Selain itu, Kepala Desa dan pejabat publik juga dituntut untuk mematuhi asas Het vermoeden van rechmatigheid yang bermakna bahwa kebijakan pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai ada bukti serta proses hukum yang menyatakan sebaliknya.
Dalam hal ini, aspek kecermatan, kehati-hatian, serta manfaat bagi masyarakat banyak menjadi hal terpenting bagi Kepala Desa dan pejabat publik pada umumnya dalam membuat suatu keputusan dan/atau kebijakan sehingga gagasan gouverneur c’est prevoir yang berorientasi bahwa suatu pemerintahan harus selalu berpikir ke depan serta selalu merencanakan dan mempertimbangkan berbagai keputusan dan kebijakan yang akan diambil.
Hal ini termasuk juga ketaatan pejabat publik akan kode etik serta kode perilaku yang bertujuan untuk menjaga marwah jabatan.
Orientasi Kepala Desa dan pejabat publik pada umumnya untuk menjadi pelayan, teladan, serta taat akan hukum dan etika pejabat publik dimaksudkan supaya Kepala Desa dan pejabat publik tidak bertindak sewenang-wenang, mencampuri wewenang, atau bahkan melampaui wewenangnya termasuk juga meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi.
Menurut Artidjo Alkostar dalam bukunya yang berjudul Korupsi Politik di Negara Modern maka korupsi harus dilihat secara komprehensif terutama korelasi antara korupsi politik dengan lima aspek, yaitu: dimensi sosio-politis, dimensi sosio-ekonomi, dimensi sosio-kultural, dimensi sosio-yuridis, serta hak asasi manusia.
Dalam hal ini, penulis juga menggolongkan tipologi korupsi secara sederhana menjadi tiga, yaitu: (i) korupsi etik, (ii) korupsi pragmatik, serta (iii) korupsi sistemik. Korupsi etik menurut hemat penulis merupakan korupsi yang tidak dapat dikategoriasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana yang berlaku dalam hukum positif. Hal ini dikarenakan korupsi etik merupakan korupsi yang terjadi karena perilaku serta akhlak yang tercela dari pejabat publik serta dapat dianggap bertentangan dengan kode etik (code of ethics) serta kode perilaku (code of conduct) dari pejabat publik.
Selain itu, korupsi etik ini juga tidak menimbulkan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara secara langsung, akan tetapi karena adanya perilaku yang tercela dan tidak patut tersebut, maka lama-kelamaan akan berpengaruh juga terhadap kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara.
Contoh dari korupsi etik, diantaranya: (i) tidak disiplinnya pejabat publik (misalnya masuk kerja pukul 07.00 pagi, tetapi justru masuk kerja lebih dari pukul 07.00 pagi), (ii) pelayanan yang tidak cepat, cermat efektif dan efisien (misalnya memperlama proses pelayanan publik terhadap orang yang kurang mampu serta mentalitas suka menunda pekerjaan), (iii) melakukan tindakan dan/atau kebijakan yang tidak pantas/tidak patut yang berpotensi merendahkan harkat dan martabat pejabat publik sekalipun tidak bertentangan dengan hukum positif (misalnya tindakan pejabat publik merebut istri orang lain, berjudi, serta perilaku lain yang merendahkan marwah pejabat publik), serta (iv) berbagai perilaku lain yang esensinya melanggar kode etik (code of ethics) serta kode perilaku (code of conduct) dari pejabat publik serta berorientasi pada perendahan martabat serta marwah pejabat publik.
Korupsi etik ini yang jarang dilakukan oleh pejabat publik serta jarang dapat ditegakkan karena korupsi etik sering luput dari jangkauan hukum positif.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, korupsi etik hanya dapat diantisipasi dengan adanya pembinaan, pendidikan, serta penanaman mental pejabat publik secara optimal dan maksimal sedangkan dalam penegakannya dapat dilakukan dengan menegakkan kode etik serta kode perilaku tentunya dengan adanya sanksi etik yang sanksi tertinggi berupa pemecatan yang bersangkutan dari jabatannya.
Korupsi pragmatik menurut hemat penulis merupakan korupsi yang terjadi secara langsung serta menimbulkan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara akan tetapi korupsi ini seringkali dilakukan bukan karena ada niat jahat untuk melakukan korupsi ( _mens rea_ ), akan tetapi korupsi pragmatik seringkali dilakukan karena keadaan maupun adanya kebijakan publik yang tidak optimal salah satunya adanya tumpang tindih regulasi serta prosedur yang berbelit-belit.
Dengan demikian, korupsi pragmatik bukanlah merupakan sesuatu yang secara moralitas merupakan kejahatan ( _mala per se_ ), akan tetapi merupakan suatu korupsi yang terjadi karena adanya tindakan yang dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran hukum ( _mala prohibita_ ).
Salah satu contoh dari korupsi pragmatik diantaranya: (i) mempermudah proses perizinan dengan memanfaatkan jasa ‘orang dalam’, (ii) terjadinya pelanggaran hukum administrasi, (iii) adanya perbuatan yang sewenang-wenang, menyalahgunakan kewenangan, serta mencampuradukkan kewenangan oleh pejabat publik, (iv) penggunaan jasa ‘tembak’ Surat Izin Mengemudi (SIM) yang biasanya dilakukan karena tempat tes yang jauh serta adanya biaya finansial maupun non-finansial yang besar jika tes Surat Izin Mengemudi (SIM) dilakukan secara manual, serta (v) berbagai tindakan yang mempengaruhi suatu tindakan/kebijakan publik pemerintah yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum.
Jika dilihat dalam uraian tersebut, korupsi pragmatik sejatinya terjadi karena adanya keadaan maupun lingkungan instansi yang tingkat integritas rendah serta adanya kebijakan publik/tindakan hukum pemerintah/fasilitas publik yang belum merata dan maksimal sehingga korupsi pragmatik dapat terjadi.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, salah satu upaya untuk mencegah adanya korupsi pragmatik adalah dengan adanya pendidikan serta pelatihan mengenai pemahaman akan hukum administrasi, pengawasan yang bersifat aktif oleh masyarakat, serta adanya evaluasi atas kebijakan publik/tindakan hukum pemerintah/fasilitas publik supaya lebih merata, optimal, dan dapat meminimalisasi terjadinya korupsi pragmatik.
Korupsi sistemik menurut hemat penulis merupakan korupsi yang tersistem secara rapi, terstruktur, serta memiliki dampak yang bersifat masif. Dalam terminologi Artidjo Alkostar, korupsi sistemik identik dengan korupsi politik karena korupsi ini pasti salah satunya membutuhkan peran para pejabat politik.
Selain karakternya yang bersifat terstruktur, sitematis, dan masif, korupsi politik juga memiliki karakter untuk selalu berupaya menyembunyikan, mengelabuhi, bahkan mencuci tindakan korupsi sehingga menjadi bersih dan bukan menjadi tindakan korupsi.
Dalam hal ini, maka korupsi politik selain merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara secara masif juga berpotensi menimbulkan adanya tindak pidana lain salah satunya yaitu tindak pidana pencucian uang.
Oleh karena itu, upaya untuk melakukan penegakan hukum terhadap korupsi sistemik hanya dapat dilakukan secara luar biasa, mengandalkan profesionalitas dan progresivitas aparat penegak hukum, serta pengawasan maksimal dari masyarakat.
Hal ini tentunya perlu didukung oleh hukuman yang berat (hukuman maksimum) yang perlu diterapkan para hakim untuk mengadili korupsi sistemik ini.
Berdasarkan uraian di atas, sejatinya surat permohonan bantuan bingkisan sukarela lebaran dapat dikategorisasikan sebagai bentuk korupsi etik yang meskipun tidak dapat dikategorikan sebagai korupsi sebagaimana dalam hukum positif, namun hal tersebut berpotensi melanggar marwah serta kewibawaan pemerintah desa serta etika pejabat publik.
Hal ini dikarenakan, meskipun dianggap bersifat ‘permohonan’ dan ‘sukarela’, namun masyarakat serta pihak yang dimintai bantuan bingkisan sukarela lebaran akan merasa itu merupakan hal yang bersifat ‘wajib’ karena terdapat kop, stempel, serta tanda tangan resmi.
Dalam hal inilah, maka masyarakat akan melihat bahwa meski bersifat sukarela, namun terdapat relasi kuasa antara pemerintah desa dan masyarakat sehingga seolah-olah jika menolak masyarakat akan merasa ‘sungkan’ dan tentunya dalam perspektif masyarakat segala hal yang bersifat resmi (sekalipun berbentuk sumbangan) berarti merupakan sesuatu yang seyogianya dilakukan.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka adanya surat permohonan bantuan bingkisan sukarela lebaran dapat diidentikkan sebagai pemberian ‘upeti’ bagi raja yang diberikan oleh masyarakat.
Hal ini tentunya tidak etis mengingat pejabat publik diharuskan untuk menjadi pelayan sekaligus teladan di masyarakat. Lebih lanjut, surat tersebut juga dapat berdampak negatif terhadap persepsi masyarakat kepada pejabat publik, yang seolah-olah memanfaatkan kedudukan (tahta) untuk meraup harta berupa hadiah atau bingkisan hari raya.
Hal ini tentunya juga diperparah dengan budaya pejabat publik yang masih setengah-setengah dalam melayani dan menjadi teladan di masyarakat, sehingga masih menyuburkan hubungan yang bersifat patron-client antara pejabat publik dengan masyarakat.
*Keabsahan Surat Permohonan Bingkisan Hari Raya*
Dilihat dari bentuknya, maka surat permohonan bingkisan hari raya merupakan jenis peraturan kebijakan (beleidsregels).
Menurut J.H. van Kreveld, beleidsregels dibentuk karena tidak memungkinkan untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik dikarenakan pejabat tidak memiliki wewenang hingga secara substantif dianggap bukan merupakan bagian peraturan perundang-undangan.
Peraturan kebijakan/beleidsregels dapat berbentuk Surat Edaran (SE), pedoman, juklak, juknis, serta peraturan sejenis lainnya. Lebih lanjut, van der Hoeven menegaskan bahwa peraturan kebijakan/beleidsregels merupakan pseudo-wetgeving yang pada hakikatnya merupakan peraturan yang tidak memiliki kekuatan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam UU No.12 tahun 2011 juncto UU No. 15 tahun 2019.
Oleh karena itu, sumber kewenangan dari dibentuknya peraturan kebijakan/beleidsregels adalah berupa beoordelingsruimte atau ruang pertimbangan dari pejabat publik yang bersangkutan untuk melakukan tindakan hukum publik atas permasalahan hukum yang akan maupun sedang timbul di masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa surat permohonan bingkisan hari raya nomor 141/501/412.411.2001/2021 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Banjarsari dapat dikatakan tidak memenuhi aspek beoordelingsruimte karena tidak mengggunakan pertimbangan yang patut dan urgen mengapa surat permohonan bingkisan hari raya tersebut dikeluarkan.
Jika memang Pemerintah Desa Banjarsari berupaya meminta sumbangan/bingkisan hari raya, seyogianya melalui rapat permusyawaratan yang dihadiri BPD, Pemerintah Desa Banjarsari, perwakilan masyarakat, serta 7 pelaku usaha yang dimintai bingkisan hari raya.
Selain itu, permohonan bingkisan hari raya secara sukarela juga seyogianya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam hal ini Peraturan Desa yang merupakan wujud kesepakatan antara pemerintah desa dengan perwakilan masyarakat desa yang duduk dalam BPD.
Hal ini sebagaimana filosofi adanya pajak, pungutan, serta sumbangan lainnya yang didasarkan pada jargon ‘No taxation without representation’ yang berkembang di Inggris serta jargon “Taxation without representation is robbery” sebagaimana yang berkembang di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, secara formil maupun materil maka surat permohonan bingkisan hari raya nomor 141/501/412.411.2001/2021 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Banjarsari adalah batal demi hukum dan dianggapp tidak sah karena memuat substansi yang sekalipun bersifat sukarela seharusnya diatur melalui Peraturan Desa serta mekanisme serta teknis permohonan bingkisan hari raya dapat diatur melalui Peraturan Kepala Desa.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu: pertama, sekalipun bersifat sukarela, namun dengan adanya kop surat serta ditandatangani resmi oleh Kepala Desa Banjarsari maka surat permohonan bingkisan hari raya tersebut dapat menciderai etika pejabat publik, khususnya Kepala Desa Banjarsari karena memanfaatkan relasi kuasa untuk mendapatkan harta (hadiah berupa bingkisan hari raya) serta meneguhkan tahta (kedudukan kepala desa dan pejabat publik) yang harus dihormati seperti halnya raja yang meminta upeti ke masyarakat.
Hal ini tentunya merupakan hal yang tidak etis serta dapat dievaluasi ke depannya.
Kedua, surat permohonan bingkisan hari raya nomor 141/501/412.411.2001/2021 yang ditandatangani Kepala Desa Banjarsari tersebut adalah batal demi hukum karena tergolong sebagai peraturan kebijakan/beleidsregels.
Padahal, dalam memungut pajak, sumbangan, iuran, atau bingkisan hari raya seyogianya Pemerintah Desa Banjarsari menggunakan instrumen Peraturan Desa yang dibuat antara Pemerintah Desa Banjarsari dengan BPD Desa Banjarsari sebagai representasi masyarakat Desa Banjarsari.
Selain dalam Peraturan Desa Banjarsari, pengaturan mengenai sumbangan bingkisan hari raya secara teknis juga dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Desa Banjarsari.
Sejatinya tulisan ini tidak hendak menjustifikasi atau menyalahkan pihak manapun. Tulisan ini murni opini pribadi yang didasarkan pada teori serta konsep hukum untuk mengkritisi praktik hukum yang justru tidak mencerminkan nilai-nilai hukum.
Terlepas apa pun yang terjadi dengan viralnya surat permohonan bingkisan hari raya di Desa Banjarsari, semoga saja kita dapat memetik pelajaran bagi kita semua. Bahwa sebagai pejabat publik harus dapat menjadi pelayan, teladan, bahkan menaati hukum serta etika pejabat publik, Nabs.