Kisah mengapa manusia dibedakan menjadi perempuan dan laki-laki sudah diperdengarkan dari generasi ke generasi. Berbagai narasi diperdebatkan. Sebab terkadang peran perempuan justru hanya sebatas peran pendukung. Pelengkap sosok laki-laki yang disebutkan tercipta lebih awal.
Dalam dunia yang telah banyak berubah dan bergeser. Nilai-nilai yang makin beragam. Definisi baik dan buruk yang tidak lagi hitam dan putih. Lalu, apakah hari ini narasi perempuan masih harus seperti itu?
Menurut permenungan saya. Tidak selamanya perempuan terbelenggu menjadi the second gender, gender nomor dua. Di Hari Perempuan Internasional ini, kita perlu melakukan refleksi. Bagaimana perempuan mengambil peran.
Tidak hanya sebatas sebagai bahasan gender. Namun refleksi perempuan sebagai individu berdaulat. Tanpa ada label pembeda, antara perempuan dan laki-laki.
Dalam tulisan ini, ada tiga hal yang dapat direfleksikan. Apa-apa saja yang harus dilakukan untuk memberikan panggung yang sama bagi individu perempuan. Menuju ekosistem dimana perempuan bisa berdaulat dan berdaya.
Pertama adalah perlunya perubahan mindset, bahwa perempuan adalah subjek, bukan objek. Banyak kasus pelecehan perempuan terjadi sebab objektivikasi perempuan.
Perempuan dianggap sebagai objek yang bisa digoda, dipanggil-panggil untuk dijadikan bahan bercandaan di tempat publik. Bahkan, dianggap sebagai makhluk yang tidak berdaya dan mudah diganggu.
Di era ini, perempuan harus bisa dengan lantang menyuarakan: “Aku bukan objek untuk diganggu, aku adalah subjek yang berdaulat dan mampu melindungi diriku sendiri”.
Untuk mencapai tahapan ini, dibutuhkan encouragement dari tokoh sesama perempuan. Mereka yang lantang mengupayakan kemerdekaan dan keadilan untuk dirinya.
Contohlah RA Kartini yang menolak terbelenggu penjara kultur yang mencegah perempuan untuk mengakses pendidikan. Nyatanya, penjara kultur dalam kisah hidup RA Kartini hanya mampu membelenggu tubuhnya.
Bukan pemikirannya. Melalui buku dan pertukaran informasi dengan sahabat-sahabatnya melalui surat, Kartini membebaskan belenggu yang mengikatnya.
Refleksi kedua adalah meneruskan perjuangan perempuan sebagai pekerjaan estafet dari generasi ke generasi. Demi mencapai ekosistem yang memberikan panggung aktualisasi diri bagi perempuan, harus ada upaya yang berkelanjutan. Tidak hanya dari satu generasi, namun jadi bekal untuk generasi selanjutnya.
Salah satunya adalah pengungkapan kasus Agni dan gerakan #metoo yang berskala internasional. Gerakan ini bisa menjadi fondasi untuk menguatkan perempuan yang berada di posisi lemah. Bersama-sama, perempuan bisa saling menguatkan.
Refleksi ketiga adalah perlunya memunculkan lebih banyak role model perempuan. Sebab begitu banyak perempuan hebat yang belum menyuarakan dan disuarakan pesannya. Generasi kita membutuhkan role model perempuan, baik untuk perempuan itu sendiri atau laki-laki.
Ekosistem kita harus mewadahi perempuan untuk menunjukkan prestasinya. Perempuan hebat pun harus menyediakan waktu untuk melakukan mentoring dan encouragement untuk perempuan lain. Seperti yang dinyatakan Najwa Shihab, perempuan hebat harus membuka pintu untuk mentorship.
Perempuan yang bekerja keras dan berprestasi seharusnya menyuarakan kebanggaan atas pencapaiannya. Perempuan tidak perlu risau terhadap stigma ambisius yang selama ini disematkan pada perempuan-perempuan sukses.
Perempuan diharap bisa memahami valuenya sendiri. Sebab value atau nilai kita berdasar pada cara kita menilai kualitas diri sendiri. Sedangkan tantangan terbesar perempuan lebih banyak berasal dari diri perempuan sendiri.
Mengutip ucapan Susi Pudjiastuti. Bahwa perempuan harus membebaskan pikirannya. Perempuan sekarang harusnya berhenti berpikir tentang batasan. Lebih baik langsung saja berpikir apa yang mau dilakukannya, apa yang bisa dilakukannya. Liberate your mind, woman! Selamat Hari Perempuan Internasional 2019.