Rivalitas kultural antara NU dan Muhammadiyah, dalam konteks tertentu, mirip Liverpool dan Manchester United. Di Jurnaba, kami menganggapnya sebagai palagan energi positif.
Selama 30 hari kedepan, insya Allah, kutub NU dan kutub Muhammadiyah di Jurnaba akan berkolaborasi dalam battle mengisi rubrik Khasanah Ramadhan versi masing-masing kultur.
Selain sebagai palagan intelektual yang santuy, ini juga jadi itikad kecil Jurnaba untuk membangun peradaban islam santun berkemajuan. Islam ramah yang nggak kagetan. Islam tradisionalis kontemporer.
Nama Jurnaba memang tak ada di kamus apapun di dunia. Sebab, ia adalah lema yang kami bikin sendiri. Tapi, tiap kali ada yang bertanya apa arti Jurnaba? Tim Jurnaba selalu punya jawaban yang sangat memuaskan.
Jika yang bertanya orang Muhammadiyah, jawaban kami: Jurusan NAsionalis BerkemAjuan — kredo khas Muhammadiyah. Tapi jika yang bertanya orang NU, jawaban kami: Jurusan Nahdliyyin Bahagia.
Tentu itu jawaban mengada-ada dan iseng belaka. Sebab, butuh waktu 3 SKS tatap muka untuk menjelaskan makna Jurnaba yang sesungguhnya, karena saking tidak jelasnya hehehe ~
Baca Juga: Falsafah Jurnaba dan Kenapa Ia Hadir di Dunia
Tapi tak bisa dipungkiri bahwa Jurnaba, selama ini, memang dihidupi energi positif para penulis NU dan Muhammadiyah. Walhasil, cukup banyak penulis NU dan Muhammadiyah yang menorehkan karya di Jurnaba.
Sebagai lelaki yang ditakdir menjadi Nahdliyyin sejak kecil, saya patut menyemat dengan hormat nama Ahmad Fuady sebagai representasi penulis Muhammadiyah paling produktif di Jurnaba, selama 3 tahunan terakhir.
Tak hanya produktif, di tiap tulisannya, Fuady serupa KH Ahmad Dahlan yang lurus berkemajuan, mirip KH Mas Mansyur yang revolusioner dalam perkataan, dan sesekali, ia menjelma AR Fakhruddin yang suka berkelakar.
Dia sosok intelektual yang sangat visioner. Fuady adalah representasi pemuda Muhammadiyah kultural yang sangat saya kagumi.
Bung Fuady bisa menjelaskan sejarah Persyarikatan dengan detail dan berdarah-darah. Di saat sama, mampu bercerita kisah Drakor dan film Hollywood dengan istilah dan nama-nama yang cukup asing di telinga saya.
Bagi saya, dosen muda di salah satu kampus Muhammadiyah ini, memiliki Intelektualitas yang tak sekadar berkemajuan. Tapi mampu melintas, kontekstual, dan berkelitkelindan dengan bermacam zaman.
Fuady seorang Manchunian, penggemar Manchester United (MU) garis keras yang selama beberapa tahun terakhir, kerap berduka lara karena MU sudah lupa cara main bola. Tapi hebatnya, dia masih bisa meratapi duka nestapa dengan tulisan sendu yang tetap mempesona. Tentu tak sembarang suporter mampu melakukannya.
Penggemar MU masyhur sebagai suporter sangat fanatik. Bahkan, cenderung “takfiri” jika bertemu para pendukung Liverpool. MU dan Liverpool adalah ibu kandung dari segala rivalitas sepak bola. Di mata pendukung MU, pendukung Liverpool adalah orang kafir yang salah jalan dan wajib dibully, kecuali 5 tahunan ini.
5 tahun terakhir, kondisi berbalik. Pendukung Liverpool ada di atas awan, sementara pendukung MU selalu bersembunyi dalam kegelapan. Ini alasan ada kredo: hantu jaman sekarang ga perlu diusir, cukup ditunjukin daftar klasemen pasti Red Devils langsung lari.
Sebagai mantan pendukung Liverpool, saya melihat Mas Fuady adalah sebaik-baik pendukung MU. Ia yang tak lelah mencintai. Dengan konsep cinta seperti yang pernah dikatakan Gus Baha: mencintai tak cukup dengan tak melukai yang dicinta, tapi juga harus sabar saat dilukai “klasemen sementara”.
Tapi bagaimanapun, berkat blio, saya bisa melihat sisi keindahan Manchester United yang cukup sulit dicari itu. Saya juga bisa melihat Muhammadiyah sebagai sesuatu yang tak melulu kaku dan bersebrangan. Tapi juga lucu dan memang berkemajuan. Tanpa Mas Fuady, tentu saya sulit mendapat itu.
Kami akan berusaha menulis rubrik khasanah ramadhan dari masing-masing kultur. Tentu, itu kami anggap penting agar kita bisa tumbuh dengan diafragma pemahaman hidup yang luas.
Fuady dan saya memang memiliki perbedaan yang sangat kontras dan berlawanan. Baik antara Muhammadiyah-NU, atau Liverpool – MU. Sebab, keduanya masyhur sebagai palagan rivalitas yang usianya lebih tua dibanding android.
Tapi melalui Jurnaba, kami menjadikan beda kultur itu sebagai bahan utama untuk disajikan sebagai informasi yang santuy dan tidak kaku. Tentu tak sekadar palagan intelektual. Tapi sebuah itikad kecil untuk membangun utopia masyarakat islam ramah dan berkemajuan.