Gambaran sosial dan budaya Bojonegoro pada 1958 ini, akan membawamu menyelami masa lalu daerah yang konon sebagai lumbung pangan dan energi itu.
Momen penting tahun 1957 adalah ketika Bung Karno menginjakkan kaki di Bojonegoro. Kemudian, apa yang terbesit dalam pikiran ketika mendengar Bojonegoro dalam angka 1958? Mari belajar bersama-sama dan melihat Bojonegoro di tahun 1958.
Beberapa waktu yang lalu saya mencoba mencari data-data kualitatif maupun kuantitatif tentang Bojonegoro tempo dulu. Saya mengunjungi perpustakaan digital Universiteit Leiden, dengan menuliskan kata “Bodjonegoro” di mesin pencari.
Perlu diketahui apabila kamu ingin mencari sumber tentang sejarah Bojonegoro, alangkah baiknya gunakan ejaan lama yakni “Bodjonegoro” bukan “Bojonegoro”. Kalau menggunakan ejaan lama akan muncul beberapa dokumen, seperti foto, buku elektronik, surat kabar, dan lain-lain. Namun kalau menggunakan “Bojonegoro” biasanya tidak akan muncul.
Tidak semua data yang ditampilkan perpustakaan digital Universiteit Leiden bisa diakses. Saya juga mencoba untuk mencari di sumber lain. Di website The University of Sydney, ada beberapa dokumen menarik tentang Bojonegoro. Salah satu di antaranya tentang Masyarakat Bojonegoro yang ditulis oleh Sarini pada tahun 1959.
Dari karya tulis yang masih menggunakan ejaan lama itu memberikan gambaran tentang kondisi geografis, ekonomi, demografi, kesehatan, agama, adat istiadat, dan lain-lain. Dari karya tulis tentang tinjauan sosiografi Indonesia mengenai Bojonegoro yang ditulis oleh Sarini salah sau di antaranya memberikan gambaran tentang Bojonegoro di tahun 1958.
Sumber Daya Alam Bojonegoro
Pada tahun 1958 Bojonegoro terkenal dengan penghasil tembakau dan kayu jati. Kualitasnya tidak usah diragukan lagi. Perlu diketahui ketika masih menggunakan ejaan lama yakni Bodjonegoro, memiliki lambang daerah dengan dasar hijau. Hal itu bisa dibuktikan dengan KTP orang yang hidup di masa itu.
Kemudian tahun 1977 lambang daerah berganti. Lambang dengan pita beruliskan “jer karta raharja mawa karya” tersebut digunakan hingga sekarang. Arti dan makna lambang daerah telah dijelaskan dalam PERDA Kabupaten Daerah Tingkat II Bojonegoro No. 4 Tahun 1977.
Tahun 1958 Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno. Bojonegoro pada tahun itu berada di bawah kepemimpinan Raden Baruno Djojoadikusumo. Bojonegoro merupakan suatu daerah karesidenan yang meliputi tiga kebupaten yaitu Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
Bojonegoro mempunyai 5 kawedanan, 20 kecamatan, dan 430 desa. Kawedanan Bojonegoro terdiri dari 4 kecamatan yaitu Dander, Kapas, Balen, dan Sugihwaras. Selain itu ada kawedanan Baureno, Ngumpak, Padangan, dan Tambakrejo. Salah satu desa yang dianggap penting pada masa itu adalah Ngumpak Dalem yang terkenal dengan adanya makam leluhur.
Dari segi geografis, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tuban, sebelah timur dengan Kabupaten Lamongan, dan sebelah selatan dengan Kabupaten Nganjuk. Tahun 1958 hingga sekarang, Bengawan Solo memberikan suka dan duka.
Bengawan Solo digunakan sebagai pelayaran. Selain itu dimanfaatkan penduduk untuk mencari ikan, mandi, mencuci baju, dan sebagainya. Duka bagi masyarakat apabila air dari Kali Solo tersebut meluap. Mengingat pada tahun 1958 perubahan iklim belum begitu kentara, masyarakat bisa memperkirakan musim hujan dan kemarau.
Bulan agustus merupakan permulaan turun hujan. Bisa diperkirakan hujan senantiasa turun di bulan kemerdekaan. Dan tak jarang menyebabkan banjir yang bisa merusak berhektare-hektare sawah.
Akibat meluapnya Kali Solo tahun 1958 menimbulkan kerugian. Jumlah desa yang terdampak banir 27, jumlah orang yang sakit 22756, pengungsi sebanyak 54232, korban meninggal (manusia) yaitu 578, dan 1 ekor kerbau (Data Dinas Bentjana Alam Karesidenan Bodjonegoro).
Meskipun beberapa petani padi gagal panen dan hasil padi mengalami defisit namun hasil panen tembakau virginia mengalami surplus. Hal itu bak berkah di tengah derita.
Pertanian dan Peternakan
Praktik feodalisme membuat jerih payah petani tidak bisa dirasakan sepenuhnya. Hasil panen diambil oleh investor asing seperti Tionghoa. Juga tidak diambil oleh pedagang setempat, melainkan diambil dari Surabaya, Kediri, dan lain-lain. Sumber penghasilan derah terbesar adalah tembakau jenis virginia dan jawa, lombok, dan juga kedelai.
Apabila hujan dan iklim kemarau (basah), hal itu merugikan produksi tembakau dan lombok. Mengingat kedua tanaman tersebut merupakan tanaman tropis. Membutuhkan sinar matahari yang lebih agar menghasilkan produk yang berkualitas.
Berdasar data Djawatan Pertanian Karesidenan Bodjonegoro pada tahun 1958 hasil panen tembakau virginia adalah 6852 ton berupa tembakau krosok, dan 6507 ton tembakau rajangan. Sedangkan untuk hasil panen tembakau jawa yaitu 22137 ton, dan lombok 34236 ton. Hasil panen tahun 1958 mengalami kenaikan 17,9 % jika dibanding tahun sebelumnya.
Hasil panen tembakau merupakan satu-satunya yang dapat dibanggakan. Hasil panen yang melimpah berbanding lurus dengan banyaknya omprongan (oven). Terdapat 1314 buah omprongan di tahun 1958.
Di wilayah Kecamatan Bojonegoro kini, omprongan bisa ditemui di bekas pabrik pengolahan tembakau yang berada di Jalan Lettu Suyitno. Selain itu omprongan juga tersebar di beberapa kecamatan salah satu di antaranya di Baureno.
Selain tembakau hasil panen Bojonegoro adalah padi gogo rendengan, rancah, dan tegalan. Kemudian ada jagung, ketela, dan sebagainya.
Berkat kesabaran petani yang setia menunggu tanamannya agar benar-benar siap untuk dipanen dan cara penanaman yang semakin baik, membuat hasil pertanian mengalami peningkatan. Namun Bojonegoro juga masih mengimpor padi dari daerah lain seperti Banyuwangi. Tahun 1958 Bojonegoro mengimpor padi gabah dengan jumlah 15000 ton.
Tanah di Bojonegoro terbanyak berupa tanah hitam. Selain itu ada tanah branjangan pego dan kricak. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan hasil panen dengan mengintensifkan tanah dan mengadakan sosialisasi tentang pupuk, obat, dan juga alat-alat pertanian.
Praktik pertanian tahun 1958 antara lain moro hasil yaitu (penggarap tanah) dengan membagi dua hasil panen dengan pemilik tanah, dan perjanjian sewa musiman, kredit pupuk, dan juga pinjaman uang dengan bunga yang kecil.
Dinas Pertanian di tahun 1958 memberikan tugas dan arahan kepada masyarakat untuk melakukan percobaan dalam proyek bertajuk Padi Centre. Tempatnya di Kecamatan Balen, tanah yang digunakan sekitar 1000 ha. Dari percobaan tersebut lahir suatu yayasan atau badan kredit bernama Yayasan Padi Centre.
Asas-asas di dalam badan itu bertujuan untuk mengintensifkan padi bagi petani kecil, memberi anjuran untuk mengumpulkan padinya ke pemerintah, dan membrantas secara radikal sistem ijon yang menimbulkan dampak negatif pada sistem pertanian.
Pada tahun itu, kaum tani memiliki tekad untuk mengembangkan tanahnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup. Beberapa usaha yang dilakukan yakni membimbing dan memupuk gotong royong serta membentuk koperasi atau organisasi tani. Harapannya dengan adanya organisasi tani, petani lebih mudah menyalurkan usahanya di bidang sosial dan ekonomi, dan juga dapat melakukan kredit.
Di organisasi petani ada yang namanya rukun tani. Terdiri dari rukun tani, rukun wanita tani, dan rukun pemuda tani. Bidang organisasi tani meliputi beberapa bidang. Bidang sosial, misalnya membantu pembuatan rumah, memberi sumbangan dana ketika tertimpa musibah, kecelakaan, dan sebagainya. Bidang perhubungan, mengadakan dan mengatur lumbung. Bidang (usaha) kredit, memberikan pinjaman sewaktu-waktu.
Urusan pengairan pertanian, pemerintah hanya mengairi tanah sawah yang terdaftar. Mengairi sawah seluas 100.000 hektare. Selain itu, pengairan bersumber dari Kali Solo. Di sekitar Kali Solo banyak ditemukan sawah.
Hal tersebut juga tergambar dalam sebuah peta Java Towns Plans (Bodjonegoro) yang dikeluarkan tahun 1900-an oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dari rawa-rawa itulah digunakan untuk mengairi sawah, selain itu juga dari waduk-waduk seperti Waduk Pacal (Temayang) yang mengairi tanah seluas 16.000 ha dan Waduk Prijetan di Kabupaten Lamongan, Karesidenan Bojonegoro.
Selain waduk juga ada rawa. Di rawa-rawa biasanya terdapat sarang nyamuk. Hal itu bisa merugikan penduduk sekitar. Namun di sisi lain juga ada faedahnya, salah satu di antaranya untuk mengairi sawah. Rawa-rawa yang terkenal seperti Rawa Jabung (Lamongan), Rawa Manjar, dan Rawa Semando yang berada di Lamongan (Babat).
Pada waktu itu Kabupaten Lamongan dan Tuban merupakan Karesidenan Bojonegoro. Di era sekarang, masih bisa dilihat dari plat nomor kendaraan wilayah tersebut yakni plat S. Biasanya penyebutan karesidenan juga diberlakukan di organisasi maupun ajang lomba.
Selain rawa, ada juga sungai/kali yang digunakan untuk mengairi sawah yaitu Kali Jawah yang berada di Kawedanan Baureno, Kali/Sungai Bungawan Solo dengan cara menggunakan pompa, dan sebuah dam.
Ada beberapa daerah di Bojonegoro yang memiliki tanah gamping. Maka hal itu membuat pohon jati dari Bojonegoro berkualitas. Tembakau dan jati menjadi karaktersitik Bojonegoro di masa itu, bahkan hingga sekarang. Gambar jati dan tembakau pernah menjadi logo Bojonegoro sebelum padi dan kapas.
Daerah hutan di Bojonegoro meliputi Jatirogo, Padangan, Cepu, dan lain-lain. Hutan belukar berisi pohon-pohon jati, dimiliki oleh pemerintah. Penggunaannya untuk bahan bakar, keperluan rumah tangga, dan ekspor. Bencana yang terjadi di hutan yakni pencurian, pembakaran hutan dengan sengaja, dan kebakaran hutan karena kelalaian seperti membuang putung rokok sembarangan.
Kondisi Perekonomian Bojonegoro pada 1958
Ternak di Bojonegoro merupakan hal yang penting wabilkhusus bagi penduduk yang menggunakannya untuk mengais rezeki. Misalnya kuda digunakan menarik cikar maupun dokar, sapi untuk membajak sawah, susu sapi untuk dijual, kotoran sapi untuk pupuk, dan sebagainya. Selain pupuk dari kotoran ternak, masyarakat Bojonegoro juga mengolah lamtoro sebagai pupuk.
Masyarakat Bojonegoro juga memanfaatkan pasar ternak untuk melihat, menjual, membeli, barter, maupun tukar tambah ternak di Cattle Market atau Pasar Hewan atau Pasar Kebo (Sarkeb). Ada beberapa pasar hewan di Bojonegoro salah satu di antaranya dekat dengan Pasar Halte (Banjarejo) yang hingga sekarang masih bisa kita lihat.
Di daerah-daerah yang kurang subur tanahnya, penduduk memelihara kambing. Pemerahan susu kambing telah terjadi di masa itu dan bisa digunakan untuk mencegah maupun mengobati penyakit biri-biri. Mengutip dari data Djawatan Kehewanan Karesidenan Bodjonegoro tahun 1958, banyaknya kuda: 1158 ekor, sapi: 93524 ekor, kerbau: 32743 ekor, kambing: 52738 ekor, dan babi: 343 ekor.
Selain digunakan sebagai kuda tarik, kuda juga digunakan pamong desa khususnya di daerah pegunungan sebagai kuda tunggang. Karena keadaan jalan naik dan turun tak beraturan, mengingat pada masa itu jalanan terbuat dari batu-batu gamping. Bahkan di kota-kotapun keadaannya hampir sama dengan di desa.
Kuantitas rojo koyo seperti sapi semakin banyak jika dibanding dari tahun-tahun sebelumnya, karena sapi sangat dibutuhkan. Selain itu perawatannya mudah dan mudah juga beranak. Maka banyak penduduk yang menukarkan ternak kerbaunya dengan sapi.
Hal tersebut juga terjadi karena kerbau membutuhkan tanah yang luas untuk penggembalaan, minimnya penggembala atau bocah angon karena lebih senang bersekolah, dan juga kerbau kurang maksimal digunakan untuk wuluku/membajak sawah.
Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperbaiki mutu ternak dengan cara pengebirian sapi jantan. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi hasrat seksual kepada sapi betina agar sapi jantan lebih fokus makan dan diharapkan bisa menaikkan berat badan. Tahun 1958 telah banyak sapi yang digebiri. Selain itu pemerintah juga menyerahkan ternak-ternaknya kepada rakyat, untuk dirawat dengan baik.
Selain hewan ternak juga ada masyarakat yang memelihara ikan di kolam, rawa, tambak, dan ada juga yang menggunakan sistem mina padi. Berdasar data Djawatan Perikanan Karesidenan Bodjonegoro, dari tahun 1955-1958 hasil panen perikanan dari perikanan kolam terus mengalami peningkatan. Tahun 1958 menghasilkan 5.546.162 ton. Untuk hasil tambak sawah, di tahun 1958 dengan sawah seluas 5.546.162 menghasilkan 5.546.162/kg.
Dalam bidang ekonomi, meskipun tanah di Bojonegoro merupakan tanah kapur (gamping) mata pencaharian sebagian besar penduduk ialah petani. Ada petani yang mengerjakan tanahnya sendiri, dan ada juga petani yang mengerjakan tanah orang lain.
Selain nasi, biasanya masyarakat mengolah menyok/singkong untuk makanan pokok. Varian makan yang trend di masa itu misalnya pagi makan menyok, siang makan nasi, dan kalau malam bukan minum susu melainkan pada menu makan sore melakukan perpaduan antara menyok dan nasi. Lauk pauk sangat sederhana, biasanya tinggal mengambil di kebunnya.
Tahun 1958 peredaran gula di Bojonegoro tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut diakibatkan karena musim kemarau yang panjang, adanya kabar bohong/hoax di surat kabar tentang kenaikan devisit yang bisa menyebabkan merosotnya produksi, dan musim orang-orang mempunyai hajat (e.g. khitan, perkawinan, dan lain-lain).
Selain gula, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan minyak tanah berjalan lancar karena dekat dengan sumbernya, namun terkadang mengalami gangguan karena sebagian besar minyak diambil oleh lintah darat (tengkulak), kekurangan minyak tanah karena digunakan sebagai bahan bakar mengeringkan tambakau, dan adanya pembatasan oleh Bataafschee Petroleum Matschappij (BPM).
Dinamika soko guru perekonomian nasional (koperasi) di Bojonegoro tahun 1958 telah ada 69 badan koperasi. Tetapi baru 10 yang berbadan hukum. Adanya koperasi tidak bisa lepas dari pemikiran Bung Hatta yang juga ditahbiskan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Adanya koperasi di Bojonegoro mempunyai tugas untuk memberikan penerangan/sosialisasi kepada masyarakat, memberi bantuan modal, menjaga keberlangsungan orgranisasi, memelihara organisasi (koperasi) agar mendapat pengakuan sebagai badan hukum, dan lain-lain. Ditinjau dari segi kualitas, koperasi pada masa itu banyak yang masih kurang kualitasnya. Hal itu terjadi karena sulitnya mencari pemipin yang berpengetahuan (tentang koperasi), jujur, dan berintegritas, dan juga lemahnya modal.
Demografi Bojonegoro pada 1958
Dari tinjauan demografi Bojonegoro pada tahun 1958 jumlah penduduk sebanyak 623.775 jiwa (termasuk warga negara asing). Kalau dalam satu Karesidenan Bodjonegoro meliputi Tuban dan Lamongan jumlahnya 1.909.481 jiwa. Jumlah tersebut berdasar pada catatan yang dibuat pada akhir Desember 1958.
Rincian penduduk di Kabupaten Bojonegoro, WNI sejumlah 618.426, Tionghoa sejumlah 5.142, Arab sejumlah 179, dan Eropa sejumlah 28. Totalnya sebesar 623.775 jiwa. Jejak penduduk Tionghoa, Arab, dan Eropa masih bisa kita temui hingga sekarang. Penduduk Tionghoa berada di Karangpacar dan hal itu bisa kita lihat dari keberadaan Klenteng Hok Swie Bio.
Penduduk Arab berada di Kelurahan Kauman (sekitar Masjid Agung Darussalam), dan bekas penduduk Eropa bisa diketahui dari arsitektur bangunan yang tersebar di Bojonegoro seperti gereja, pemukiman, dan sebagainya. Jumlah penduduk di tahun 1958 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Stratifikasi sosial di Bojonegoro pada masa itu tidak berdasar kasta maupun marga. Melainkan lebih kepada faktor ekonomi yaitu penyebutan kaya dan miskin. Namun dalam kehidupan tidak ada perbedaan dalam golongan tinggi, rendah, maupun ningrat.
Masyarakat hidup berdampingan sebagaimana biasa, tidak ada kesenjangan sosial yang tinggi antara orang kaya dan miskin. Keunikan yang masih bisa dilihat hingga sekarang, terdapat komplek tertentu. Misalnya Karang Patjar yang merupakan pecinan atau perkumpulan orang-orang Tionghoa yang mempunyai banyak perusahaan.
Ada Kampung Kudusan yang sebagian penduduknya saudagar dan pedagang. Kemudian ada juga Kauman, mayoritas penduduknya beragama Islam dan fanatik serta memiliki usaha dagang. Kehidupan masyarakat bisa dikatakan harmonis, karena tidak ada perbedaan-perbedaan yang terlalu dipermasalahkan.
Hiburan Masyarakat Bojonegoro Tempo Dulu
Hiburan masyarakat pada masa itu ada kesenian dan sport/olahraga. Kesenian yang terkenal dari Bojonegoro ialah wayang kulit, ludruk, wayang orang, dan lain-lain. Kesenian juga dipengaruhi oleh faktor geografis. Mengingat Bojonegoro merupakan daerah yang terletak di antara Surabaya dan Jawa Tengah hal tersebut juga memberikan warna pada kesenian Bojonegoro.
Kesenian wayang orang memperoleh pengaruh dari Solo dan Jogja sedangkan ludruk terpengaruh dari Surabaya. Dagelan ludruk menjadi primadona pada masa itu dan di daearah kota sudah banyak penggemar musik barat dan juga musik klasik.
Di tahun 1958, kegemaran masyarakat bisa dijadikan alat identifikasi status sosial. Olahraga yang paling digemari dari dulu hingga sekarang adalah sepak bola. Bagi orang-orang yang mukim di kota dan dari kalangan berada dan intelek, lebih senang bermain tenis.
Selain itu juga menonton bioskop. Untuk sport bagi masyarakat desa adalah sport yang bisa hidup dan menghidupi. Keren bukan? Hehe. Sportnya ialah macul, mengolah tanah, mencari kayu, dan sebagainya. Selain itu juga ada sepak bola dan pencak silat.
Tempat Keramat di Bojonegoro
Bahasan sejarah Bojonegoro tahun 1958 belum begitu ada yang peduli. Misalnya seperti asal muasal nama Bojonegoro. Masyarakat lebih tertarik pada tempat-tempat yang dianggap keramat. Seperti di Dander, ada makam R.A. Djamus yang terkenal sebagai makam gaib.
Beberapa masyarakat menganggap makam itu bisa berbicara sendiri. Sosok R.A. Djamus merupakan istri Bupati Radjekwesi. Pengalihan nama dari Radjegwesi menjadi Bodjonegoro telah dijelaskan olah J.Noorduyn dalam Hoe Het Regentschap Bodjonegoro in 1828 Deeze Naam Kreeg. Nama Radjekwesi pada tahun 1958 digunakan sebagai gedung bioskop. Sekarang digunakan sebagai nama terminal Bojonegoro.
Makam yang bersuara itu, hanya juru kunci yang bisa mendengar dengan seksama. Masyarakat dari dalam maupun luar daerah berkunjung ke makam itu dalam rangka meminta berkah agart tercapai cita-citanya. Intensitas pengunjung makam mengalami kenaikan apabila Ruwah (sebelum bulan puasa). Kemudian ada seorang penyelidik yang datang ke situ untuk meneliti makam.
Penyelidik itu mencoba untuk menutup lubang makam yang bisa menimbulkan suara. Pada awalnya masyarakat sekitar menolak tindakan yang dilakukan penyelidik tersebut. Masyarakat menganggap kalau nanti lubang makamnya ditutup, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Penyelidik itu tetap bersikeras untuk menutup makam itu dan tidak menghiraukan apa yang dikatakan rakyat sekitar. Dan juga memberi ancaman kepada rakyat atas nama pemerintah, dan apabila rakyat sekitar tidak patuh akan mendapat hukuman dari pemerintah.
Mendengar kata “pemerintah” pada masa itu mungkin membuat bulu kuduk merinding, jadi rakyat desa itu takut. Kemudian lubang makam ditutup dan tidak terjadi apa-apa. Setelah itu makam menjadi sepi seperti makam-makam pada umumnya. Kemudian di sebelah timur Desa Ngraseh di Kecamatan Dander ada Pesarehan Gadong yang dekat dengan makam gaib tadi. Di pesarean itu ada makam Adipati Matahun, Kiai Ageng Banyubiru, Arjoloyo, Arjokusumo, dan lain-lain.
Selain itu di Kawedanan Baureno juga terdapat tempat yang dianggap keramat, kemudian Bandungrejo (Kalitidu), dan di Kota Bojonegoro ada yang namanya Sumur Ringin. Sumur itu berada di Kelurahan Kepatihan (sekarang keberadaannya bisa dilihat di sekitar LP Bojonegoro).
Kepercayaan masyarakat kepada hal-hal metafisika masih banyak di masa itu, dan pembangunan rumah juga memiliki pedoman sendiri. Salah satu di antaranya rumah-rumah di desa harus ada kentongan.
Kemudian posisi meja dan dingklik panjang ada aturannya, meja di tengah kemudian di samping kanan dan kiri diberi dingklik panjang. Posisi seperti itu masih bisa kita temui hingga sekarang di beberapa rumah penduduk desa di Bojonegoro.
Tradisi yang berkembang di masyarakat Bojonegoro seperti selamatan. Dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti upacara perkawinan, melahirkan, khitan, puputan, wiwitan/permulaan menanam padi, hari raya idul fitri & adha, maulid nabi, mendirikan rumah, dan lain-lain.
Fashion dan Gaya Berpakaian
Bidang fashion, pada zaman kolonial laki-laki mengenakan celana, terkadang berdasi, dan selalu berpeci. Dulu ada larangan yang keras, yaitu membuka peci hukumnya haram. Namun seiring perkembangan zaman, penggunaan peci tidak diharuskan, melepas peci juga tidak apa-apa.
Kaum petani laki-laki yang beragama Islam menggunakan sarung dan peci. Kemudian busana perempuan desa menggunakan kain panjang dan kerudung. Kalau di daerah kota, perempuan menggunakan kerudung sebagai selendang dan disampirkan di atas bahu.
Beberapa kebiasaan yang berpotensi untuk menimbulkan kegaduhan pasa masa itu (masa sekarang juga) adalah minum-minuman keras, dan tlidekan/tayuban.
Sebagian besar penduduk di Bojonegoro menganut agama Islam. Selain itu ada Katholik. Jumlah masjid dalam satu Karesidenan Bodjonegoro ialah 777 buah dan langgar/masjid kecil 5424 buah. Faham yang berkembang di tahun 1958 seperi faham modern, kolot, dan samin. Faham samin berasal dari Randu Blatung, Blora.
Usaha sosial organisasi isalam pada masa itu ialah menggerakkan masyarakat untuk berzakat fitrah, dan berusaha mengumpulkan uang untuk memperbaiki masjid, dan juga berupaya mendirikan langgar di pasar-pasar.
Djawatan Agama pada tahun 1958 membuat data tentang angka nikah, talak, dan rujuk. Pada tahun 1958 angka pernikahan sebanyak 43792, talak sebanyak 25167, dan rujuk 2054. Perceraian disebabkan karena faktor ekonomi, budaya kawin paksa, dan moral.
Dalam bidang kesehatan, Djawatan Kesehatan menganjurkan setiap orang dan bayi harus suntik vaksin cacar. Bagi yang tidak mau dan takut akan tetap dipaksa untuk disuntik. Hal itu untuk kesehatan penduduk.
Beberapa ragam penyakit tahun 1958 di Bojonegoro; lepra, disenteri, trachum, malaria, petak, dan lain-lain. Kebanyakan penduduk Bojonegoro terkena malaria. Jumlah penderita malaria sebanyak 2372 orang. Penyakit karena gigitan nyamuk itu angkanya tertinggi dan untuk melakukan pencegahan pada tahun 1958 dilakukan penyemprotan secara rutin dan juga diharuskan menutup selambu ketika tidur.
Penyakit dengan jumlah tertinggi nomor dua ialah patek. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi kronis bakteri treponema pertenue tersebut mendapat perhatian serius dari Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA). Penderita patek di Bojonegoro sebanyak 630 orang.