Masyarakat Indonesia masih memiliki ruang untuk bersuara. Bukan untuk melawan pemerintah, melainkan melawan kebijakan yang tidak pro rakyat.
Memasuki musim kemarau 2020, masyarakat Indonesia tampak unggul dalam proses demokrasi. Klasemen sementara menunjukkan angka Rakyat 3 – 0 Pemerintah. Khususnya, dalam gugatan kebijakan yang dinilai tidak pro masyarakat.
Berawal pada kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan sejak 2015. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya menjatuhkan vonis bersalah kepada pemerintah pusat. Kasus tersebut atas gugatan Citizen Law Suit (CLS) masyarakat Kalimantan Tengah.
Pemerintah pusat tidak terima, lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Aguh (MA). Sayang disayang, MA menolak kasasi tersebut. Tepatnya pada 19 Juli 2019. Satu poin kemenangan untuk kelompok masyarakat Indonesia.
Berlanjut pada kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan tarif berlaku mulai 1 Januari 2020. Kebijakan tersebut menuai gugatan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Hasilnya, MA membatalkan kenaikan tarif tersebut. Perlu adanya uji materi terhadap kebijakan tersebut. Putusan MA mulai berlaku pada 1 April 2020. Kelompok masyarakat menambah poin keunggulan. Pemerintah tetap nol.
Baca juga: Pemerintah Bukan Tuhan
Selanjutnya, kebijakan pemadaman jaringan internet di Papua dan Papua Barat. Itu saat aksi solidaritas warga Papua melawan perlakuan rasial. Terjadi sepanjang Agustus-September 2019.
Pemerintah beralasan untuk mencegah penyebaran berita hoax. Namun, akses informasi menjadi tertutup dan sangat terbatas. Kebijakan pemerintah itu mendapat gugatan dari Tim Pembela Kebebasan Pers.
PTUN Jakarta memutuskan tindakan pemerintah tersebut melanggar hukum. Tepatnya pada Rabu (3/6/2020) lalu. Kelompok masyarakat kembali menambah keunggulan. Skor sementara 3-0 untuk keunggulan masyarakat Indonesia.
Rentetan kemenangan tersebut merupakan wujud proses demokrasi. Masyarakat Indonesia masih memiliki ruang untuk bersuara. Bukan untuk melawan pemerintah, melainkan melawan kebijakan yang tidak pro rakyat.
Baca juga: 5 Cara Memupuk Rasa Cinta ke Tanah Air Indonesia
Kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat bisa digugat, dibatalkan. Meski kebijakan itu sekaliber nasional. Bahkan, pemerintah bisa dimintai pertanggungjawaban. Jika demikian, pemerintah harus bertanggung jawab. Terutama atas kerugian yang menimpa masyarakat.
Jangankan pemerintah pusat, kebijakan daerah yang menggelitik juga harus diperhatikan. Masyarakat lokal harus jeli. Apalagi kebijakan daerah mengena masyarakat secara langsung.
Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh anti kritik. Ini bisa memicu pertandingan yang bisa bisa dibilang lucu. Masa pemerintah melawan rakyatnya? Dua pihak harus bekerja sama dengan baik, demi terciptanya demokrasi yang sehat.
Kebijakan harus dibuat dengan sikap bijak. Peraturan harus memuat substansi dan esensi kesejahteraan masyarakat. Tentu skor 3-0 bersifat sementara. Hingga akhirnya harus seri tanpa angka. Kemenangan berada di tangan keadilan.
Namanya demokrasi harus dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Bukan untuk para penguasa dan pemangku kepentingan golongan. Rakyat masih memegang kuasa atas nasibnya. Dan tugas dewan yang terhormat untuk menjaminnya melalui Undang-Undang yang ada.