Senin, 19 Agustus 2019. Masih terlalu pagi, ketika seorang teman dari jauh, Sorong Selatan, Papua Barat, menelepon berulangkali. Panggilan pertama, tak bisa saya jangkau. Kedua, juga demikian. Hingga ketiga, baru bisa saya angkat setelah memiliki kesadaran penuh, terbangun dari tidur.
Saya terperanjat ketika nada suara teman itu terdengar berbeda. Ada semacam gurat panik yang melekat.
“Sebenarnya kasus di Surabaya itu bagaimana, bro? Di sini sekarang mulai ramai. Kata ayahku, di daerah Manokwari, toko-toko orang berambut lurus dibakar. Mereka marah sekali,” katanya.
Saya mencoba bersikap tenang. Berpikir sejenak untuk menyampaikan apa saja informasi yang bisa saya himpun. Memang, dari kemarin saya mendapat kabar begitu banyak tentang Papua. Terutama lewat jagad twitter dan media massa yang berserak.
Kata dari berbagai informasi yang saya rangkum itu, asrama mahasiswa Papua dikepung banyak orang. Meliputi aparat kepolisian, tentara, satpol pp, hingga ormas. Mereka memprovokasi dan mempersekusi mahasiswa Papua untuk menyerah, agar bisa dibawa ke kantor kepolisian Surabaya.
Pemicunya, karena kabar perusakan bendera merah putih di sekitar asrama yang diduga dirusak mahasiswa Papua, bertebaran di whatsapp grup. Meskipun sampai detik terakhir ternyata tak ada bukti, orang-orang yang mengepung tadi kadung melakukan tindakan anarkis.
Mulai dari merusak fasilitas asrama, memecahkan kaca, melempar gas air mata, hingga melakukan tindakan rasis yang begitu tolol dan menyakiti hati: menyebut para mahasiswa dengan sebutan monyet disertai makian brutal.
Kabar tindakan rasisme itu menyebar hingga ke Papua. Sampai kemudian hinggap ke telinga teman saya itu.
“Kami sakit hati oleh Aparat di Surabaya. Mereka mengatakan kata binatang dan kata rasis lainnya,” kata teman itu menirukan protes dari masyarakat di sana.
Selang beberapa saat, dia mengirimkan foto-foto terkini: foto kantor DPRD yang dibakar massa, gerobak-gerobak yang diselimuti api, hingga video ucapan protes masyarakat di sana.
Melihat itu, terang saja saya merinding. Saya tak bisa membayangkan bagaimana mencekamnya suasana di sana. Mengingat, teman tadi berulangkali menekankan “mereka (demonstran), mencari orang-orang berambut lurus”, yang dimaknai sebagai pendatang alias penduduk dari Jawa.
Sontak saya teringat kawan yang dulu juga bekerja di media di Bojonegoro. Ia belakangan rajin memosting kedekatan dengan sang kekasih, yang dari kabar terakhir sedang berada di Nabire, Papua. Saya menanyakan apakah keadaannya baik-baik saja?
Syukur, kekhawatiran saya mereda setelah akhirnya dia menjawab baik-baik saja, dan di sana keadaan relatif tenang.
**
Terlepas dari keadaan itu, pada jeda tertentu sembari memastikan kabar berserak tentang Papua, banyak pertanyaan menggantung di kepala saya. Dengan dalih nasionalisme seperti apa, atau, dengan dasar pembenaran macam apa hingga seseorang begitu tega menyebut orang lain di sekitarnya dengan monyet? Perusuh? Mempersekusi dan memprovokasi?
Bagaimana orang-orang itu bertanggung jawab atas tindakan tolol yang mereka lakukan?
**
Pergaulan saya mungkin tidak terlalu luas selayaknya orang-orang lain. Tetapi, dari beberapa fase pertemanan saya dengan kawan Papua, saya bisa bilang mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Bahkan dalam posisi terpuruk, mereka jauh lebih setia daripada orang-orang terdekat saya.
Teman saya yang dari Sorong Selatan itu misalnya, saat di Surabaya, dia begitu peduli. Tak terhitung berapa kali dia menolong, membelikan martabak, mengajari bernyanyi dengan benar, mengajak jalan-jalan, hingga tak segan memberikan saya uang untuk sekadar membeli makan. Padahal, waktu itu, kami kenal belum terlalu lama.
Jika menginginkan contoh lebih banyak, tentu tulisan ini tak akan pernah selesai. Mengingat jasa baik teman-teman saya dari Papua itu memang mengalir terus-menerus.
Tetapi, pada derajat tertentu, kita memang harus menyadari bahwa sikap rasis memang melekat di benak kita. Tak perlu bukti terlalu jauh, seandainya ada seorang pemuda bertindik dan bertato, memakai celana sobek, lalu berjalan menghampiri kita, rasanya hampir bisa dipastikan kesan pertama adalah rasa takut untuk dihajar. Padahal bisa saja dia hanya meminjam korek api, atau menanyakan alamat.
Dan ya, tugas berat kita semua saat ini adalah memberantas stigma kejam itu. Rasisme adalah perputaran mata rantai yang harus diputus. Dan tentu, kita yang berkewajiban memulainya. Detik ini juga.
Karena jika upaya itu—memulai menghancurkan sikap-sikap rasisme dalam pikiran dan perbuatan—tak segera kita lakukan, bukan tidak mungkin bom pertikaian akan meledak suatu hari.
Saat waktu itu datang, kita hanya akan mengais air mata dan darah lebih banyak. Dan pada hari-hari terakhir ini, lewat beragam informasi yang bertebaran, di seberang jauh sana, di negeri Papua, alarm bom itu telah berbunyi. Kian lama, suaranya kencang sekali.