Buku adalah jendela ilmu. Biasanya kamu bisa membaca kalimat itu di bawah buku tulis. Sebuah kutipan yang terasa ganjal. Karena konotasi jendela ilmu justru terpatri dalam buku bergaris yang belum mengandung tulisan. Benar nggak?
Sebenarnya, buku apa sih yang dianggap jendela ilmu? Coba kita sambungkan dengan makna jendela secara harfiah. Jendela merupakan salah satu bagian penting dari bangunan. Fungsinya, mengatur sirkulasi udara luar yang masuk ke dalam bangunan.
Yuk kita kulik filosofi jendela untuk menemukan betapa buku — dari beragam pandangan — bisa memengaruhi hidup manusia. Dari permenungan saya, ada tiga filosofi yang mendasarinya.
Pertama, buka jendela lebar-lebar untuk melihat indah dan beragamnya dunia. Kedua, tutup jendela saat udara luar sedang tidak bersahabat. Ketiga, buka jendela sedikit saat hujan sedang syahdu dan minta diperhatikan.
Nah, pertama, kita bisa membukanya lebar-lebar untuk melihat dunia luar. Sekaligus untuk membiarkan proses sirkulasi udara terjadi. Sama halnya dengan buku. Kita membaca buah pikiran orang lain untuk membiarkan proses sirkulasi ide terjadi di otak.
Semakin beragam buku yang kita baca. Semakin luas pula pandangan kita terhadap dunia. Membaca dapat membangun kemampuan bermajinasi. Terutama bagi usia anak-anak. Membaca juga bisa meningkatkan keterampilan komunikasi. Hal yang paling utama, membaca dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Dari sini, kita bisa menarik benang merah. Bahwa semakin luas tema buku yang kita baca. Semakin terasah pula kemampuan berpikir kritis kita. Terutama jika bacaan tersebut mengandung pengetahuan tentang ideologi. Perspektif dunia yang beragam. Cara pandang dan cara berpikir yang berseberangan sekalipun.
Kedua, tutuplah saat udara luar tidak bersahabat. Filosofi ini berlaku saat kita mulai resah akan bacaan. Keresahan yang bagaimana? Yakni, ketika bacaan kita justru menutup kita dari realitas sekitar.
Ketika bacaan membuat kita mudah menyalahkan pandangan lain yang liyan. Menutup diri dari sirkulasi diskusi yang sehat di akal. Serta membuat kita mudah mengkotak-kotakkan dunia sesederhana hitam dan putih.
Buku seharusnya membuat kita semakin menerima keberagaman ide. Pemikiran kritis kita tentu bisa memilah hal baik mana yang bisa kita ambil. Kemudian membuang hal yang kurang sesuai dengan keyakinan dan realitas sosial kita.
Profesor asal Amerika Serikat, Violet Harris menyatakan bahwa penting untuk meyakini adanya inclusive diversity dalam bacaan. Penulis yang berfokus pada kajian literatur multikultural ini menggarisbawahi kesetaraan akses baca bagi semua orang. Tidak peduli beragamnya latar belakang orang itu.
Nah, dari sini kita punya argumen yang beralasan untuk mengkritik kasus perampasan buku. Kasus ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Buku yang dirampas pun diakibatkan karena ketakutan akan tumbuh kembalinya suatu ideologi.
Yang patut disayangkan, ini dilakukan oleh oknum aparat bertugas membela kedaulatan Bangsa. Apalagi, perihal ini justru didorong oleh laporan warga. Betapa oknum warga harusnya tahu bahwa buku harusnya dibaca (dulu), bukan dilaporkan.
Hmm, mari hela napas panjang sejenak. Betapa kita terkadang tidak bisa melihat oase di tengah hamparan gurun yang kering. Betapa terkadang kita luput untuk mensyukuri nikmat luasnya akses pengetahuan.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Buya Syafii Maarif turut menyayangkan kasus ini. Ia juga menghimbau adanya proses pencerdasan terhadap masyarakat dan oknum aparatur negara.
“Proses pencerdasan, (amanah) mencerdaskan kehidupan bangsa itu keseluruhan, termasuk aparat. Harus cerdas, betul-betul pandai secara selektif mana yang berbahaya,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, bahwa ketakutan atas ideologi komunis sudah tidak relevan. Sebab menurutnya, ideologi ini sudah diarak ke museum sejarah. Nah, apa yang harus kita lakukan pada sejarah? Mempelajari, mengambil yang baik, dan memahami yang buruk.
Ketiga, bukalah jendela sedikit untuk menikmati betapa syahdunya hujan. Namun, kita juga harus bersiap pada resiko terciprat satu dua tetes air hujan.
Dari dalam rumah, kita bersyukur bisa terlindung dari dinginnya hujan yang menerpa. Dan kita tetap bisa sesekali menyentuh air dari lubang jendela. Begitu pula seharusnya buku yang kita baca.
Kita bisa mengetahui derasnya laju informasi dan dunia. Namun kita bisa menentukan, seberapa banyak air yang ingin kita sentuh. Ini menggambarkan betapa pentingnya kontrol diri akan beragamnya cara berpikir di dunia ini.
Kita bisa membaca tentang segala ideologi yang ada di dunia. Dari yang paling kanan hingga paling kiri. Kita boleh lahap semua informasi. Tapi kita sudah punya sistem imun kita sendiri. Kita punya kebijaksanaan kita sendiri.
Kebijaksanaan yang terbangun oleh proses berpikir kritis dan permenungan terhadap realitas yang ada. Hmm. Sepertinya kita tidak butuh aparat perampas buku. Kita hanya perlu aparat yang suka baca buku.
Dengan suka baca, saya yakin aparat akan melindungi kedaulatan masyarakat untuk membaca dunia seluas-luasnya. Alih-alih membatasi dan merampas kegiatannya.
Dengan tidak merampas buku, pengetahuan, pengalaman sekaligus daya pikir masyarakat bisa berkembang. Sebab, berkembangnya daya pikir masyarakat adalah indikator kemajuan sebuah bangsa.