Hari Meteorologi Dunia diperingati setiap tanggal 23 Maret. Perihal ilmu atmosfer ini telah diperingati sejak 1950, bertepatan dengan Konvensi Meteorologi Dunia.
Yakni konvensi yang menjadi tumpuan dibentuknya World Meteorological Organization (WMO) di bawah PBB.
Organisasi ini merupakan wadah koordinasi antar negara anggota. Menurut laman resmi WMO, program kerja organisasi ini adalah membentuk jaringan stasiun pengamatan untuk menyediakan data terkait cuaca, iklim, dan air. Selain itu, tentunya, melakukan koordinasi penelitian dan pelatihan di bidang meteorologi.
Meteorologi sendiri merupakan ilmu yang membahas cuaca. Termasuk diantaranya adalah kondisi suhu, kelembapan dan tekanan udara. Serangkaian kondisi ini merupakan kejadian yang terjadi di atmosfer dan fenomena yang melingkupinya.
Pada peringatan Hari Meteorologi Dunia 2019 ini, WMO mengangkat tema The Sun, the Earth and the Weather. Tema ini berkaitan dengan kondisi cuaca saat ini, yang mana cuaca bisa menjadi selabil mood-mu.
Oleh karena itu, hari ini juga menjadi momentum yang tepat untuk berkontemplasi tentang matahari, bumi, dan cuaca.
Matahari merupakan bintang yang menjadi pusat dari tata surya. Ia juga berperan sebagai penggerak utama dinamika cuaca dan iklim. Teriknya radiasi matahari yang mengenai bumi mempengaruhi suhu dan tekanan udara.
Konstelasi di atmosfer inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya angin, mendung, hujan, atau bahkan terik yang membuatmu sambat di siang hari.
Jika biasanya kamu sambat karena Bojonegoro makin panas setiap harinya. WMO justru menyatakan informasi yang berbeda.
Pengukuran satelit yang dilakukan selama 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan energi matahari yang diterima bumi.
Pemanasan yang akhir-akhir ini terjadi di bumi bukan merupakan perubahan aktivitas matahari. Melainkan efek dari banyaknya gas rumah kaca yang tersimpan di atmosfer.
Gas rumah kaca ini, kamu tahu, merupakan gas yang secara alami muncul. Namun juga dapat dipercepat oleh aktivitas manusia.
Selain dilanda pemanasan bumi, kita juga sedang diuji fenomena bencana hidrometeorologi. Seperti pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dilansir Antaranews.com.
BMKG mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk mewaspadai potensi terjadinya bencana hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi merupakan bencana alam yang terjadi akibat fenomena meteorologi. Contoh dari bencana alam ini diantaranya adalah hujan lebat, angin kencang, dan gelombang laut yang tinggi.
Sebagai kawasan yang tidak memiliki laut, kita sebagai warga Bojonegoro juga tidak boleh lengah. Sebab kita juga harus waspada akan terjadinya hujan lebat dan angin kencang.
Dan tidak bisa dipungkiri, sebagai kawasan dengan tanah gerak dan langganan banjir. Kita juga harus mempersiapkan diri dan melakukan gerak pencegahan.
Lalu, apa andil kita, sebagai manusia, terkait fluktuasi cuaca yang tidak menentu ini? Hmm, dalam hal ini, sebenarnya manusia memiliki andil yang besar.
Biarpun atmosfer berada di lapisan langit yang tidak terjamah manusia. Namun, apa yang sedang terjadi di atmosfer, cuaca, dan dampaknya ke bumi, dapat diantisipasi oleh manusia.
Contoh sederhananya, jika pemanasan global terjadi sebab manusia banyak memproduksi gas karbondioksida. Maka kita bisa memperbanyak tanaman yang menjadi penyeimbang dan penyerap gas-gas rumah kaca.
Selain itu, jika curah hujan sedang tidak menentu. Kita bisa mengurangi produksi sampah, dan menghindari kegiatan membuang sampah di area sungai, atau area aliran air.
Peran manusia dalam menghadapi fluktuasi cuaca juga telah dihadapi oleh nenek moyang kita. Tentunya dengan cara-cara yang sederhana. Dengan basis pengetahuan yang menjadi kearifan lokal.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lisa Hiwasaki, Emmanuel Luna, Syamsidik, dan Rajib Shaw dalam International Journal of Disaster Risk Reduction Tahun 2014.
Secara global, peneliti dan beberapa rencana aksi mitigasi bencana di kawasan Asia memadukan pengetahuan tradisional dan perkembangan ilmu sains.
Ilmu pengetahuan warisan budaya merupakan salah satu sumber pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan saat ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nenek moyang kita tentu memiliki cara tersendiri dalam mengamati perubahan cuaca, serta menghadapi bencana.
Kemampuan nenek moyang kita dalam menghadapi bencana dapat diintegrasikan dengan kecanggihan penelitian yang dilakukan oleh WMO dan BMKG.
Teknologi terbaru yang didukung penelitian ilmiah. Manunggal dengan pengetahuan lokal dapat digunakan untuk bekal menghadapi masalah lingkungan saat ini.
Kita memang bukan manusia super laiknya Avatar yang bisa mengendalikan unsur air, udara, tanah dan api. Tapi kita juga merupakan manusia super yang memiliki kekuatan inisiatif.
Jadi, mari lakukan hal-hal kecil yang dapat memberikan dampak positif bagi alam semesta. Sebab kita bukan pemilik saham di bumi. Kita harus berbagi dengan tumbuhan, hewan dan ekosistem alam. Selain itu, kita hanya generasi yang menumpang, untuk diwariskan pada generasi selanjutnya.
Selamat Hari Meteorologi Dunia 2019, Nabs!