Grup musik Unen-Unen Rabu (18/12/2019) malam kemarin tampil dalam Festival Literasi di halaman Gedung Bakorwil Bojonegoro. Tak sekadar penampil, Unen-Unen juga jadi bagian gerakan literasi.
“Kami mempelajari semua alat ini dari berbagai refensi,” Kata Agus Hewod, lead personel Unen-Unen.
Makna kalimat Agus tak berhenti pada mempelajari. Dia juga terus mencari referensi. Mengulik narasumber dan sumber sejarah alat yang digunakannya. Inilah esensi dari gerakan literasi.
Literasi tidak sekadar mampu membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi berarti kemampuan untuk mengolah ide, gagasan, dan potensi diri. Juga kemampuan berpikir analitis, memecahkan persoalan di lingkungannya.
“Saya tidak mau memainkan alat yang saya belum tahu sejarahnya,” ucap Agus kepada para penonton yang mayoritas siswa SMK, SMA, dan MA itu.
Baca juga: Cethik Geni, Menyalakan Api Literasi di Sudut Kota Cepu
Untuk mulai memainkan rinding— mirip karinding kalau di Jawa Barat—Agus harus menelusurinya hingga pelosok Madura. Pemuda Desa Rengel Kabupaten Tuban itu menelusuri informasi dari narasumber utama.
Menemui sesepuh yang masih memiliki keterkaitan sejarahnya. Dia mencari tahu asal usul dan kenapa alat itu ada. Karena menurutnya, sejauh ini tidak ada literatur yang cukup untuk menjelaskan alat tersebut.
Alumnus Universitas Islam Malang (Unisma) ini terus mengumpulkan berbagai alat tradisional kuno bahkan purba dari berbagai daerah. Dia pelajari, mainkan, dan dia ajarkan kepada orang-orang.
“Di Indonesia ada lebih dari 350 dan hanya 100 yang kami temukan. Selebihnya sudah ada di museum di Belanda dan Jerman,” kata pemuda kelahiran Banyuwangi ini.
Ketekunan Agus Hewod menelusuri, mengumpulkan literatur, dan mengajarkannya kepada orang lain adalah gerakan literasi melalui seni. Karena ada juga orang yang hebat bermain musik, bahkan menciptakan alat musik baru, tapi tidak pernah menularkan ilmunya. Ibarat membaca banyak buku tapi tidak pernah menulis.
Baca juga: Menghidupkan Dunia Literasi dengan Giat Membaca dan Menulis
Meski Hewod mengaku tidak mengenal not dan tidak bisa membaca musik, namun harmonisasi bunyi-bunyian yang dia ciptakan mampu membuat orang lain terbawa menikmati alunannya. Malah Group Unen-Unen ini sering tampil di berbagai festival di daerah, di luar jawa dan di luar negeri.
Kekuatan Unen-Unen ada di rasa dan nuansa. Menggabungkan bunyi-bunyian menjadi nada-nada. Tidak ada pakem untuk nada-nada ini. Makanya, setiap kali tampil, Unen-Unen tidak akan pernah mempertunjukkan alunan yang sama.
“Mengenal bunyi-bunyian adalah dasar untuk mampu bermusik,” ucap Hewod.
Setiap kali tampil, Hewod juga menjelaskan makna dan alat yang digunakannya. Seperti malam itu dia menjelaskan ongkek. Sebuah instrumen dawai dari alat pikul toak. Dia menjelaskan kenapa alat pikul itu menjadi sebuah instrumen bunyi dengan segala filosofinya.
“Kami ingin melestarikan sesuatu yang ada di sekitar kami. Kami ingin mengembangkan dan memperkenalkan kembali kepada masyarakat Indonesia yang sudah lama melupakannya,” katanya semangat.
Gerakan literasi tentu tujuannya ingin mencerdaskan manusia. Kecerdasan dalam beragam potensi yang dimiliki setiap individu. Termasuk melalui seni bunyi-bunyian alias unen-unen ini.