“Untuk kembali merawat dan mengurus tanah air, dengan benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masing-masing desa, kawasan, lalu pulau, hingga mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim terbesar di dunia” (Noer Fauzi Rachman, 2018)
Minat, keingintahuan, dan keberpihakan psikologis saya pada konsep “pendidikan alternatif”, bermula dari membaca buku berjudul Sekolah Itu Candu (2007), karya Pak Roem Topatimasang. Inilah buku penting yang membuka luasnya paradigma saya tentang makna pendidikan bagi masyarakat luas.
Pertemuan saya pada buku itu, bukan karena saya suka membaca tulisan ilmiah. Tapi karena buku itu dibuka dengan konsep sastra pasca-apocaliptic utopis masa depan, berlatar tahun 2222. Meski, kaidah itu hanya menjadi pembuka dan penutup saja. Sementara isinya tetap bercerita tentang problem pendidikan era saat ini.
Namun yang menarik, dari buku yang secara tak sengaja saya baca itu, justru membuat saya menemukan banyak sekali insight – insight penting ihwal pendidikan di Indonesia. Khususnya terkait muasal kata “sekolah” itu sendiri, yang, sepertinya, agak jauh dari makna yang kita ketahui hari ini.
Buku itu membawa informasi penting tentang asal mula kata sekolah. Pak Roem menjelaskan, dalam bahasa aslinya, sekolah berasal dari kata skhole, scola, scolae atau schola (Bahasa Latin), yang kemudian diadopsi menjadi school (Bahasa Inggris) seperti yang kita pahami saat ini.
Dalam bahasa aslinya, Bahasa Latin, skhole, scola, scolae atau schola, secara harfiah, bermakna “waktu luang” atau “waktu senggang”. Dan ini berhubungan dengan tradisi Yunani Kuna. Anak-anak Yunani Kuna menggunakan waktu luangnya untuk mempelajari sesuatu (keilmuan dan keterampilan) yang berguna dari para cerdik pandai.

Anak-anak belajar di-sesela waktu bermain, sambil mengisi waktu luang. Sehingga proses belajar selalu diikuti rasa kebahagiaan. Inilah muasal etimologis dari konsep pendidikan yang kini kita kenal sebagai sekolah. Nah, pertanyaannya, apakah konsep awal makna “sekolah” itu kini masih ada?
Ya, sekolah yang semula identik kebahagiaan dan rasa senang — sesuai makna asli dari bahasa asalnya: skhole —telah lama mengalami perubahan makna. Sekolah tak lagi dirasa menyenangkan, tapi berubah menjadi tempat yang penuh tuntutan dan beban. Alih-alih dirindukan, belajar di sekolah justru dihindari.
SALAM Jogjakarta

Dalam proses menjalani makna belajar sepanjang hayat, saya kembali bertemu dengan buku unik berjudul Sekolah Biasa Saja (2018). Buku yang ditulis Toto Rahardjo (Pak Tohar) ini, mampu menjawab pertanyaan implisit dari buku Sekolah Itu Candu (2009), karya Pak Roem Topatimasang. Buku ini bercerita pengalaman Pak Tohar dalam merintis sekolah alternatif bernama Sanggar Anak Alam (SALAM) di Bantul Jogja.
SALAM didirikan sepasang suami istri, Ibu Sri Wahyaningsih dan Pak Tohar, pada 1988 di Banjarnegara. Untuk kemudian pada 2000, dibangun dengan semangat yang lebih besar di Nitriprayan, Jogja. SALAM berupaya men-dekonstruksi wajah sekolah yang selama ini dikenal. SALAM mengajak anak-anak untuk merindukan belajar, bukan membebani dengan pelajaran.
Satu hal menarik dari SALAM adalah, kehadiran konsep-konsep klasik Ki Hadjar Dewantara, konsep penting yang dilupakan pendidikan modern. Salah satunya: implementasi Tri Sentra pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Dalam implementasinya, sekolah alternatif SALAM melibatkan orangtua, guru dan tokoh masyarakat dalam proses pendidikan.
Anak-anak SALAM diajak belajar sesuai minat. Mereka juga diajari untuk tetap mampu berinteraksi langsung dengan masyarakat, lingkungan, alam, hingga kebijaksanaan kearifan lokal. Sehingga di tengah bermacam ideologi-teknologi yang datang bertubi-tubi ini, kelak mereka tetap mampu mem-filtrasi itu semua secara bijak dan penuh rasa tanggung jawab.
KBQT Salatiga

Beberapa tahun kemudian, saya kembali menemukan buku menarik berjudul Pendidikan yang Memerdekakan (2020) karya Ahmad Bahruddin. Buku ini bercerita ihwal pengalaman Pak Bahruddin dalam merintis sekolah alternatif bernama Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KBQT) yang ia dirikan di Kota Salatiga. Sebuah sekolah impian yang punya kemiripan dengan Sanggar Anak Alam (SALAM) Jogja.
Gerakan Pak Bahruddin ini, bermula dari keberadaan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah (SPPQT) Salatiga yang dibentuk pada 1999. Paguyuban ini gelisah karena mahalnya biaya pendidikan untuk anak-anak mereka. Sehingga pada 2003, setelah mendapat dukungan masyarakat sekitar, Pak Bahruddin merintis lahirnya sekolah alternatif bernama Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).
Pesantren KBQT menjadi kritik atas maraknya sekolah formal yang ahli mencetak anak menjadi robot-tak-kontekstual terhadap lingkungan masyarakat. Sebab, selain memberi kebebasan anak belajar sesuai minat (dan bertanggung jawab atas pilihannya itu), KBQT juga menjadikan lingkungan sebagai bagian penting proses pembelajaran.
Serupa kekaguman saya pada SALAM, satu hal menarik dari KBQT adalah penerapan konsep pendidikan merdeka ala Ki Hadjar Dewantara, yang dikemas sesuai konteks zaman. Terkait pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bahruddin berpendapat bahwa anak-anak harus didorong untuk mengembangkan imajinasi, sekaligus didorong berpikir kritis-transformatif pada segala hal yang dihadapi, di era digital ini.
Pendidik dan Penyelaras Zaman

Banyak sejarawan menganggap, sebelum Hindu Budha datang ke Jawa, masyarakat asli Jawa adalah para pemuja arwah (animisme/dinamisme) yang, secara tak langsung, menunjukan betapa primitifnya peradaban kita. Di antara sejarawan yang mendukung anggapan primitif itu adalah Bernard H.M. Vlekke dan Aris Munandar. Untungnya, anggapan berbasis amatan arkeologis itu, amat berbeda jika didasarkan pada kajian empiris-filologis.
Dalam riset filologis — di antaranya dilakukan sejarawan Hendrick Kern — menyebut, Jawa Kuna sudah memiliki seperangkat sistem nilai beserta pejabat penjaga otoritasnya, bahkan sebelum Hindu-Budha masuk ke Pulau Jawa. Otoritas penjaga seperangkat norma Jawa itu, dikenal dengan nama Wiku. Ini jadi sebuah bukti bahwa sebelum misionaris Hindu-Budha — Brahmana, Rşi, Muni, dan Biksu — datang ke Jawa, telah ada pejabat otoritas sejenis yang memang asli dari Jawa.
Zoetmulder (1983) menyebut, Wiku adalah istilah asli Jawa Kuna yang merujuk pada fungsi religius (orang yang mengabdikan diri pada kehidupan religi) alias pertapa. Keberadaan para Wiku, menunjukkan jika sudah ada seperangkat nilai atau ajaran asli Jawa Kuna, yang membuat para Wiku itu mengabdikan diri untuknya.
Menariknya, masuknya Hindu – Budha ternyata tak membuat keberadaan para Wiku itu hilang. Eksistensi Para Wiku nyatanya masih tercatat secara empiris pada Prasasti Kudadu (1294 M), Prasasti Adan-adan (1301 M), Prasasti Pabañolan (1381 M), dan dibahas dalam naskah Negarakretagama (1365 M).
Prasasti Adan-adan (1301 M), secara jelas mencatat entitas Wiku dengan kalimat: Wikhu Brāmaçāri Grhastha Ganaprastha Biksuka (lempeng 16 b). Dari kalimat itu, Totok Supriyanto (2024) menyatakan Wiku dapat dimaknai sebagai seorang pengajar (guru), yang mengajar tentang nilai dan konsep Brāmaçāri.
Sementara Brāmaçāri (Brahmacarati iti Brahmacarya), adalah istilah Jawa mengadopsi Sanskerta yang bermakna: perilaku yang konsisten sesuai dengan zat Ilahi, atau laku dalam catur-ashrama (tataran konsep pendidikan). Semacam laku hidup mengejar ilmu pengetahuan suci dan pembebasan spiritual (T. Supriyanto 2024).
Para Wiku tak sekadar seorang guru, tapi penyelaras zaman dalam konsep Brāmaçāri. Mereka adalah tempat “berkompromi” bagi para pembawa ideologi baru. Mengingat, Jawa sudah punya seperangkat nilai dan etika peradaban yang dijaga Para Wiku. Sehingga tanpa kebesaran hati Para Wiku, ideologi baru akan sangat sulit untuk ditanamkan.
Saat Hindu-Budha datang ke Jawa, Para Wiku ini bertugas menyelaraskan ajaran baru tersebut, agar tak terjadi tabrakan ekstrem dengan ajaran yang sudah lebih dahulu ada, yakni Etika Jawa. Jejak Para Wiku pada era Hindu-Budha, terlihat dari kitab Adiparwa dan Tantu Penggelaran. Adiparwa dan Tantu Penggelaran yang asli (yang bukan anggitan di era Jawa Baru), mengandung geniunitas unsur Jawa yang amat kuat, yang tak pernah ditemukan di Negeri India.
Begitupun pada era datangnya Islam. Tugas-tugas para Wiku di era Islam, terlihat dari banyaknya kitab klasik yang masuk ke Jawa. Kitab Para Waliyullah dianggit menggunakan unsur Jawa. Terutama dalam pengantar dan metoda penyampaiannya. Di antra contohnya adalah kitab Umm al Barahin (Sifat Rong Puluh) dan kitab-kitab Tafsir Al Jawi yang jumlahnya sangat banyak.
Kegiatan para Wiku Brāmaçāri Inilah, yang kelak di kemudian hari, dikenal sebagai “Pesantren/Pawiyatan”, di mana para siswa belajar bersama bimbingan Guru (Kiai) yang memiliki asrama untuk menginap. Transformasi dari Brāmaçāri ke Pesantren/Pawiyatan ini, karena Nusantara, selalu dengan bijak, mampu menampung tradisi kebudayaan (ideologi) baru yang memasukinya.
Pawyatan dan Pesantren sama-sama melanjutkan konsep tradisi pendidikan Brāmaçāri di era Islam. Bedanya, Pawyatan lebih identik “Keraton” sebagai tempatnya. Sementara Pesantren lebih pada kalangan umum yang menggelar pembelajaran di pondokan (asrama mukim). Namun wajib diketahui, pesantren dalam hal ini, agak berbeda dengan “Pesantren Industrialis” yang kini berkembang di Indonesia.
Konsep pendidikan dalam Pawyatan dan Pesantren yang cukup populer pada abad 14 M ini (zaman Para Wali), kelak pada abad 20 M, secara tepat mampu diadopsi dan dikampanyekan lagi oleh Ki Hadjar Dewantara pada gerakan Taman Siswa. Artinya, Taman Siswa adalah jejak terakhir dari wujud Brāmaçāri — konsep pendidikan asli Nusantara.
Konjungsi Kosmik: dari Bramacari hingga Kampus PerDikAn

Saya tak mengenal, bahkan belum pernah bertemu Ki Hadjar Dewantara, Pak Roem Topatimasang, Pak Toto Rahardjo, dan Pak Bahruddin. Saya, praktis hanya mengenal nama-nama itu dalam lintasan takdir mata yang, secara tak sengaja, sempat membacanya. Namun, ada satu spirit yang saya rasakan. Yaitu keinginan memajukan pendidikan Indonesia, dengan tetap mempertahankan tradisi luhur yang telah dipancang para pendahulu di Bumi Nusantara.
Nusantara adalah negeri besar. Namanya bergema secara Internasional sebagai “Zabaj Al Jawi”, negeri superior nan makmur, yang selalu didongengkan semua pelaut sebagai negeri impian, sejak abad 9 M. Ini bukan omong kosong. Tapi banyak literatur Arab yang mencatat kebesaran Zabaj Al Jawi (Nusantara) ini. Di antaranya adalah Ajaib Al Hindi (ditulis Buzurg bin Syahriyar, 899 M), Rihlah al Sirafi (ditulis Sulaiman Al-Tajir 815 M, disalin Abu Zaid Al-Sirafi 907 M), Kitab Al-Masalik Wal Mamalik (Ibnu Khurdadhbih, 842 M).
Catatan-catatan Arab itu, ditulis pada zaman Medang Kuno dan Sriwijaya. Di zaman ketika Majapahit belum terpikirkan sama sekali, Nusantara sudah dicatat pelancong Arab dengan penuh kekaguman. Itu semua, karena Nusantara sudah berperadaban. Sudah terdapat Para Wiku yang menjaga Bramacari — prinsip pendidikan yang tak menolak pembaruan, tapi menyelaraskan yang baru dengan nilai-nilai baik yang datang lebih dahulu.
Prinsip kejayaan dari abad klasik inilah yang, entah sengaja atau tidak, kembali diadopsi dan dikampanyekan ulang Ki Hadjar Dewantara pada 1922 M, tepat di era kolonial abad 20 M. Meski, gemanya kian hari kian menghilang, ditelan konsep edukasi berbasis modernisasi.
Pak Roem Topatimasang, Pak Toto Rahardjo, Pak Noer Fauzi Rachman, Pak Bahruddin dan semua Pembesar Kampus PerDikAn, kemudian hadir dari awal abad 21 M untuk mengembalikan kaidah Ki Hadjar Dewantara itu. Entah sengaja atau tidak, apa yang beliau semua lakukan adalah melanjutkan estafet perjuangan Para Wiku Bramacari.
Sementara saya, hanya anak kecil yang membaca dan sesekali, diam-diam, menyimpan mimpi untuk melakukan perjuangan yang sama. Entah sengaja atau tidak, saya menyaksikan kuatnya rantai genealogis (sanad) perjuangan. Dari akar, batang, hingga percabangan: Dari Wiku Bramacari, generasi Taman Siswa, hingga generasi Kampus PerDikAn (SALAM dan KBQT).
Para Wiku Bramacari bertugas mengkondisikan dan mem-filtrasi datangnya kepercayaan-kepercayaan baru yang datang ke Nusantara. Taman Siswa mem-filtrasi dampak sosial sistem pendidikan kolonial Belanda. Sementara Kampus PerDikAn menjaga denyut kemanusiaan, di tengah gempuran distorsi teknologi-informasi.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan Pak Noer Fauzi Rachman dalam pengantar buku Sekolah Biasa Saja (2018) yang berbunyi: “Untuk kembali merawat dan mengurus tanah air, dengan benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masing-masing desa, kawasan, lalu pulau, hingga mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim terbesar di dunia!!”.
Lembah Kandhawa, Bojonegoro, 5 Desember 2024.