Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Ziarah Ideologis Bojonegoro dan Jogjakarta

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
07/06/2025
in JURNAKULTURA
Ziarah Ideologis Bojonegoro dan Jogjakarta

Ziarah Ideologis Bojonegoro dan Jogjakarta

Bojonegoro dan Jogjakarta memang dua wilayah saling berjauhan. Namun, keduanya disatukan riwayat dan corak ideologi yang sama.

Rihlah ilmiah ke Jogjakarta, selalu jadi momen ziarah ideologis bagi masyarakat Bojonegoro, begitupun sebaliknya. Dua tempat ini punya ikatan kuat pada masa silam — simpul ideologis yang mengabarkan ibrah makna hidup sekaligus nilai-nilai juang.

Perjalanan menuju Jogjakarta, sepintas akan mengingatkan pada kisah Pak Dorodjatun (Sultan Hamengkubuwana IX) yang pernah berziarah di Gunung Jali Jipang. Dari ziarah kontemplatif inilah, Sultan HB IX mendapatkan inspirasi di bidang pengelolaan tata kota.

Di bawah Gunung Jali, terdapat kanal kuno Bengawan Sore Jipang — sodetan air raksasa yang dibuat pada masa Raja Airlangga (abad 11 M). Kontemplasi di Gunung Jali, menginspirasi Sultan HB IX dalam membangun kanal di Jogjakarta pada 1942 M, yang kelak kita kenal dengan Selokan Mataram itu.

Artikel ini merupakan bagian dari Seri Dekolonisasi yang berpijak pada spirit Bhinnasrantaloka.

Saat berkontemplasi di Gunung Jali, Sultan HB IX dikenal sangat “egaliter” dan cukup dekat dengan masyarakat lokal. Ia mengenakan pakaian biasa, dan kerap ikut mencangkul di lahan warga. Masyarakat sekitar tak mengenal siapa Sultan HB IX, mereka memanggilnya dengan Pak Dorodjatun.

Di tempat yang sama, kelak di kemudian hari, Gus Dur juga pernah melakukan lelaku ziarah semacam itu. Perihal ziarah ideologis, memang ada kemiripan antara Sultan HB IX dengan Gus Dur. Dan kisah-kisah di atas, hanyalah bagian kecil dari tauladan bijak yang pernah dicontohkan Bapak Bangsa kita.

** **

Perjalanan dari Bojonegoro menuju Jogjakarta, mata kita akan melihat deretan panjang perbukitan hutan Jati Purba yang pernah menjadi saksi berbagai lintasan peristiwa. Deretan hutan Jati Purba itulah, yang dikenal dengan Hutan Watu Jago.

Para Pinisepuh menyatakan, jika melintasi perbukitan hutan Watu Jago, tengok dan ucapkanlah salam takdhim dalam hati. Sebab, kelokan lembah, sumber mata air, dan teduh pepohonannya pernah melindungi dan menyelamatkan banyak para syuhada pada masa lampau.

Hutan Watu Jago pernah dicatat sebagai pusat Jati Alam yang maha rimbun. Tempat itu sudah dipenuhi pepohonan jati raksasa, jauh sebelum masa kedatangan kolonial Belanda. Para pelancong Belanda, bahkan menjuluki Watu Jago sebagai Mercusuar Jati yang dihuni banyak Macan Alas.

Ilustrasi: jalur Watu Jago

Peristiwa yang pernah melintas di sana, tersimpan rapi sebagai data energi yang berada di tiap galih batang kayunya. Maka tak heran jika nuansa hutan Watu Jago kerap mengabarkan hikmah peristiwa dari masa silam. Sayangnya, banyak Jati Purba yang kini telah hilang, bahkan sampai ke akar-akarnya.

** **

Paruh kedua abad 18 M, tepatnya pasca Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755 M), Mataram pecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta (Solo) dan Kasultanan Yogyakarta. Jipang (Bojonegoro), secara legal administratif, menjadi bagian Kesultanan Yogyakarta — lebih tepatnya, Mancanegara Wetan Kesultanan Yogyakarta.

Bersama Madiun, Bojonegoro wilayah penting Kesultanan Yogyakarta yang cukup terkenal. Keduanya masyhur dalam dua hal: perlawanan dan perlindungan hutan jati. Bojonegoro dan Madiun diukir pahatan emas sebagai tanah yang tak mau menyerah, ketika wilayah lain bertopeng Londo Jowo.

Baca juga: Saat Madiun dan Jipang Bersatu Melindungi Hutan Purba

Sebagai bagian penting dari Kesultanan Jogjakarta, kebesaran Bojonegoro dan Madiun tentu banyak dimanipulasi dan dihilangkan melalui dongeng babad karya narator kolonial. Bahkan, saking sulitnya menghilangkan kebesaran itu, namanya pun harus diganti agar tak pernah diingat lagi.

Kasunanan dan Kasultanan tentu tak sekadar beda istilah penguasa. Lebih dari itu, Kasunanan dan Kasultanan juga beda corak dan ideologinya. Abu Soli (2022) dan Helmy Faizi (2024) menulis, Kesultanan adalah sistem pemerintahan berdasar harmoni dalil Islam dan kearifan lokal — harmoni  pesisir dan pegunungan.

Dalam konteks politik Jawa, istilah sultan mengingatkan kita pada Sultan Adiwijaya Pajang, atau yang lebih belakangan: Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Sementara istilah Sunan, akan mengingatkan kita pada Sunan Amangkurat, atau yang lebih belakangan: Sunan Pakubuwana.

Egaliter dan Esensial

Dalam budaya Kesultanan, tak ada kompromi bagi imperialisme (penjajahan). Sesuai dalil primer keagamaan, Islam sangat menjunjung tinggi makna kemerdekaan. Dalam konteks politik Jawa, setiap Kesultanan pasti punya sentimen khusus dengan gelagat kolonial-imperial. Dan itu telah dimulai sejak lama.

Sebagai bagian dari kultur Kesultanan, Bojonegoro dicatat tinta emas dalam perlawanan terhadap konsorsium kolonial-imperial. Atas dasar kuatnya perlawanan ini pula, kaum imperial harus repot-repot mengganti nama Jipang dengan Bojonegoro. Dan proses penggantian nama itu belum lama: September 1828 M.

Selain memiliki sentimen pada penjajahan, satu hal yang identik dari budaya Kesultanan adalah corak esensial dalam memegang status sosial. Tradisi Kesultanan tak pernah mengumbar, apalagi berlaku transaksional terhadap status sosial. Dan, tidak menye-menye pada seremoni sesimbolan.

Seperti disebut Abu Soli dan Helmy Faizi, corak esensial, tentu gambaran dari ideologi Kesultanan. Dalam istilah lain, kultur Kesultanan lebih dekat dengan sikap egaliter. Sebab, dalil primer keagamaan menyebut setiap manusia itu sama, tergantung tingkat ketakwaannya pada Tuhan.

Jipang (Bojonegoro) dikenal sebagai Tanah Anti Feodal. Tempat di mana sistem feodalisme, secara alami, ditolak oleh bumi. Sejarah mencatat, feodalisme selalu gagal menancapkan diri di Bumi Sotasrungga ini. Di Bojonegoro, berjualan sikap feodal hanya akan ditertawakan masyarakat sipil.

Dalam kultur Kesultanan, mereka yang mengenakan pakaian biasa, bisa jadi jauh lebih memahami kaidah kebudayaan daripada mereka yang kesana kemari menggunakan atribut khusus. Sebab, kultur Kesultanan dikenal esensial dan tak terjebak pada simbol.

DNA Kesultanan Pajang

Dunia mencatat Kesultanan Pajang sebagai imperium Islam Al Jawi penyatu garis pantai Madura hingga Banten, penghubung peradaban Pesisir dan Pegunungan. Dan Jipang — kota kuno yang ratusan tahun sebelumnya telah dikenal sebagai pengendali Bengawan — adalah denyut nadi jantungya.

Jipang: Kota Kuno Pengendali Pesisir dan Pegunungan (Peta Jawa periode 1500 – 1586 M, Delpher)

Untuk menyatukan peradaban Pesisir dan Pegunungan, tentu butuh sungai Bengawan. Maka bukan kebetulan jika pada masa Kesultanan Pajang, wilayah Jipang dikenal sebagai “Negaragung Benawa” yang jadi sakelar pengendali ekor dan kepala Naga Jawa.

Manuskrip Padangan menyebut Jipang (جيفغ) dan Pajang (فجاغ) sebagai satu kesatuan Japa (doa). Keduanya rajah peradaban yang tak terpisahkan. Jipang dan Pajang adalah “Jim kasroh” dan “Jim fathah” yang jadi botol dan tutup peradaban Islam al Jawi abad 16 M.

Baca Juga: Serat Nitisruti, Pustaka Kesultanan Pajang

Baru pada abad 19 M, sekira 300 tahun pasca era Kesultanan Pajang, penulis Belanda bernama JJ. Meinsma dan Londo Jowo berkolaborasi membangun narasi perang antara Pajang dan Jipang. Tujuannya, untuk mengubur dan menghilangkan Kesultanan Pajang.

Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan, JJ. Meinsma dan Londo Jowo berupaya susah payah menghilangkan jejak Kesultanan Pajang. Dari “menarasikan ulang” profil Kesultanan Pajang, hingga membuat cerita ketoprak untuk men-degradasi kebesarannya.

Londo Jowo dan JJ. Meinsma mengarang ulang Kesultanan Pajang, memperpendek usianya, hingga mengarang nama tokoh dan nama kerajaan untuk dicantolkan sebagai cerita. Itu dilakukan dalam rangka mengubur Kesultanan Pajang.

Namun mereka selalu gagal. Masyarakat Jipang, secara turun temurun, tak pernah percaya karangan JJ. Meinsma dan Londo Jowo itu. Masyarakat Jipang, punya versi Jim fathah dan Jim kasroh peradaban Jawa. Kesultanan Pajang, dengan segala kebijaksanaannya, justru selalu hidup di tiap zaman.

Energi Bojonegoro dan Jogjakarta 

Para Pinisepuh mengatakan: jika ingin melihat Kesultanan Pajang dalam bentuk pemerintahan, lihatlah Kesultanan Jogjakarta. Di sana, “Jim fathah” tersimpan di atmosfer udaranya. Jika ingin melihat Kesultanan Pajang dalam bentuk tradisi budaya, lihatlah Tlatah Jipang. Di sana, “Jim kasroh” tersimpan di tiap jengkal tanah manuskripnya.

Jika pada abad 16 M ibukota Kesultanan Pajang berada di kawasan Pajang (selatan), dan negaragung-nya berada di Jipang (utara). Bukan kebetulan jika kini, bentuk formalnya berada di Jogjakarta (selatan), dan wujud kulturalnya berada di Jipang (utara). Ya, Jipang adalah nama kuno dari Bojonegoro.

Baca Juga: Kedhung Kramat, Tanah yang menolak Feodalisme

Jika ingin melihat wajah Kesultanan Pajang dalam bentuk manusia kultural, lihatlah Gus Dur, ia membawa spirit Kesultanan Pajang melalui pemberdayaan masyarakat. Jika ingin melihat wajah Kesultanan Pajang dalam bentuk manusia pemerintahan, lihatlah Pak Dorodjatun (Sultan HB IX), ia membawa spirit Kesultanan Pajang melalui sikap egaliternya.

Dalam Serat Nitisruti, sebuah salinan dokumen ditulis pada masa Kesultanan Pajang, terdapat gambaran penting bahwa Kesultanan Pajang merupakan Imperium yang menjunjung tinggi “ilmu pengetahuan” dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta spirit pemberdayaan masyarakat.

Ilustrasi: Serat Nitisruti, Harmoni Al Jawi

Spirit yang digambarkan Serat Nitisruti, faktanya selalu hadir di tiap zaman. Pada abad 19 M, spirit itu hadir melalui “Roudlotut Tholib” pesantren kuno yang menjamur di bantaran sungai Jipang (Bojonegoro). Pada abad 20 M, spirit itu hadir melalui keberadaan “Taman Siswa” yang dinyalakan di Jogjakarta.

Gus Dur berkata, Kesultanan Pajang adalah energi yang hidup di berbagai zaman. Ia menjadi konsep yang menempel di tiap peradaban sebagai spirit pemberdayaan di luar dinding istana. Selama masih ada gerakan pemberdayaan (transformasi sosial),  selama itu pula energi Kesultanan Pajang akan senantiasa hidup.

Bojonegoro dan Jogjakarta memang dua wilayah saling berjauhan. Namun, keduanya disatukan riwayat dan corak ideologi yang sama. Keduanya dikenal sebagai tempat yang menyimpan spirit “Jim fathah” dan “Jim kasroh” Al Jawi, peradaban yang dikumandangkan Kesultanan Pajang jauh-jauh hari.

Tags: Jim Fathah dan Jim Kasroh Al JawiJogjakarta BojonegoroKultur KesultananMakin Tahu IndonesiaZiarah Ideologis
Previous Post

Qurban dan Parodi: Yuk Rame-rame Berebut Torpedo Kambing!

Next Post

Perkuat Organisasi, PC IPNU IPPNU Bojonegoro Adakan Family Gathering

BERITA MENARIK LAINNYA

‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial
JURNAKULTURA

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro
Cecurhatan

Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro

11/06/2025
Ekspedisi Sotasrungga: Tafakuran Mata Air dan Ficus Raksasa
JURNAKULTURA

Ekspedisi Sotasrungga: Tafakuran Mata Air dan Ficus Raksasa

28/04/2025

Anyar Nabs

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

15/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: