Kuliner tidak hanya berperan sebagai penjawab rasa lapar. Ia juga mampu menjadi wahana wisata. Bahkan, lebih hebat lagi: perekat berbagai kebudayaan.
Pusing, gemetar, lemah, letih dan lesu. Tenang, itu bukan gejala dalam jelaga. Melainkan tubuhmu belum terisi energi. Perut kosong keroncongan. Tandanya kamu lapar. Obatnya, tentu saja dengan maem. Tapi ingat, jangan sampai over kenyang ya.
Bicara soal makanan, ada salah satu pujasera di Bojonegoro. Berada tepat di pojok persimpangan jalan Jaksa Agung. Letaknya persis di depan Klenteng Hok Swie Bio Bojonegoro. Pujasera ini menyajikan banyak menu. Untuk menjawab perut yang keroncongan.
Tak tanggung-tanggung, pujasera ini mengusung nama Wisata Kuliner Tri Dharma. Tentu, sebuah nama yang menggambarkan konsep eksplorasi kegiatan rekreatif berbasis kulineran.
Pujasera yang sudah berjalan satu setengah tahun ini dikelola oleh klenteng Hok Swie Bio. Dengan sistem sewa pembayaran tiap bulan. Jadi, para pedagang di sana menyewa kedai untuk lapak jualan mereka.
Dengan biaya sewa tiap bulan. Di sana, tersedia 16 stand untuk pelapak. Hingga saat ini, telah ada 13 penyewa yang menjajakan berbagai macam makanan.
Kepada Adityo Dwi Wicaksono dan Widyastuti Septiyaningrum, Ketua Pengelola Klenteng sekaligus ketua pengelola Wisata Kuliner Tri Dharma, Hari Widodo Rahmad banyak berkisah tentang asal mula wisata kuliner tersebut.
Dia berkisah, lahan pujasera ini memang milik Klenteng Hok Swie Bio. Dahulu kala, di lahan ini berdiri kokoh bangunan sekolahan Tionghoa. Beberapa Kampus juga pernah menempati lahan ini.
Sebagai tempat menimba ilmu. Akhirnya setelah terjadi parley antara pihak Kampus dan Klenteng. Lahan ini dikelola kembali oleh pihak Klenteng.
“Sekitar tahun 2010, hak kelola lahan ini kembali pada Klenteng. Ide awal terbentuknya pujasera ini karena adanya rasa kepedulian sesama umat manusia,” terang Hari Widodo.
Perihal ini, sekitar tahun 2007, pihak pengelola melihat pedagang-pedagang yang digusur dan tidak mendapatkan tempat berjualan. Akhirnya tercetuslah ide untuk memanfaatkan lahan ini sebagai pujasera.
Banyak menu yang disajikan di pujasera ini. Mulai dari makanan khas rumahan. Tersedia masakan pecel, sayur lodeh, sayur asem. Ingin tambah lauk pauk? Jangan khawatir, tersedia pula ayam dan bebek goreng, berbagai macam bothok, hingga belut goreng. Menu geprekan hits juga tersedia.
Ada pula kuliner tematik laiknya mie pedas dengan berbagai level dan dimsum. Pecinta daging kambing juga bisa menjajal sate dan gule. Tak lupa, ada menu gudheg yang telah disulap sedemikian rupa. Menjadi gudheg yang khas Bojonegoro.
Buat kamu yang ingin makan atau sekadar nongkrong di sini, tidak perlu khawatir. Fasilitas parkir dan Wifi pun tak ketinggalan. Tentu, sebagai pelengkap dan teman akrab para milenial.
Pecinta kekopian pun tidak perlu risau. Mulai dari kopi tubruk dengan cangkir putih bergambar bebungaan khas kopinan Bojonegoro. Hingga kopi single origin yang sedang digandrungi khalayak muda Bojonegoro pun ada. Jadi, tak perlu risau kalau ingin icip es kopi kekinian.
Wisata Kuliner Tri Dharma tidak hanya menawarkan konsep pujasera biasa. Sebab tempat ini berpotensi menjadi tempat akulturasi makanan dari berbagai kebudayaan. Salah satu stand di tempat ini juga menjual baju dan pernak-pernik khas Klenteng.
Seperti saat Jurnaba.co bertemu dengan salah satu penyewa stand, Hendro Salim (57). Dia menjelaskan kisah persinggungan antara kebudayaan Tionghoa dan Jawa. Mulai dari Angling Dharma, hingga dewa-dewa yang dianut agama Konghuchu.
Selain itu, dia juga bercerita tentang nilai-nilai kerukunan antar kebudayaan di kota Bojonegoro. Terutama pesan-pesan damai yang disampaikan oleh Gus Dur.
Begitu pula yang dikisahkan oleh ketua pengelola Klenteng, Hari Widodo. Bahwa di Bojonegoro, kerukunan antar umat beragama sangatlah terjaga. “Kita aktif dalam forum antar umat beragama. Saya juga bersahabat dengan tokoh-tokoh pemuka agama Islam, Kristen, dan lain-lain,” terang Hari.
Ternyata, Nabs, perjalanan Jurnaba.co ke Wisata Kuliner Tri Dharma tidak hanya memuaskan lapar dan dahaga. Namun juga mengisi dahaga dalam batin. Tempat ini berpotensi menjadi tumpah ruahnya ide, gagasan, dan kisah. Bagi insan beda generasi dan beda budaya sekalipun.
Sebab hakikatnya, perbedaan budaya di Indonesia bukanlah batasan. Justru menjadi toples berisi berbagai macam permen. Berbeda-beda rasa. Namun sama manisnya. Jadi, jangan ragu untuk mencicipi penganan di tempat ini. Sekaligus mencicipi kisah dari orang-orang baru, Nabsky.