Cara Aris Nugraha membangun rasa PD kaum pinggiran, sekaligus tekniknya menggeser dominasi Jakarta dengan cara amat sederhana, sangat Jurnaba dan amat mengagumkan.
Sebagai seorang sutradara dan penulis skenario papan atas, Aris Nugraha teramat sakti dan keramat. Terlebih, semua itu dibungkus secara amat sederhana. Sesederhana profil pria kelahiran Garut 51 tahun lalu itu.
Saking sederhananya, sampai jarang banget ada redaksi yang mengulas profil Aris Nugraha secara fokus dan detail. Bahkan saat kita ketik namanya di Wikipedia, yang muncul justru Preman Pensiun— yang notabene bagian kecil dari karyanya yang amat banyak itu.
Namanya mungkin tak setenar dan sebeken Riri Riza, Hanung Bramantyo atau Joko Anwar yang nisbi dikenal semua nak-anak Indie. Aris Nugraha beda. Ia keren dalam hal yang tak tersentuh oleh kekerenan Riri, Joko atau Hanung sekalipun.
Jalan ninja Aris Nugraha adalah karya populer berbasis sinetron — khususnya sinetron komedi (sitkom). Aris, menurut saya, adalah maestro di bidang sesitkoman. Dalam tiap karyanya, selalu ada unsur drama dan komedi dan, tentu saja, kesederhanaan nan eksotis.
Bajai Bajuri, The Adventures of Suparman, Kontrakan Tiga Pintu, Kampung Hawa, Preman Pensiun, Tukang Ojek Pengkolan, Awas Banyak Copet, Gober, Bike Boyz dan banyak lagi yang saya belum tahu, adalah daftar panjang hasil tangan dinginnya.
Dalam Preman Pensiun atau Tukang Ojek Pengkolan — setidaknya ini yang paling populer dan paling masih diingat— misalnya, ada unsur-unsur yang amat saya kagumi: sederhana, tak takut dibilang jelek, dan amat konsisten. Menurut saya ini sangat jurnabis. Jurnaba banget, maksudnya.
Tukang Ojek Pengkolan (TOP) yang kemunculannya hampir bersamaan dengan OK-JEK, misalnya, dulu sempat saya kira bakal kalah saingan. Sebab, OK-JEK mewakili generasi milenial nan ngindie. Tapi ternyata sebaliknya, TOP justru lebih keren dan menyita perhatian.
Meski sederhana dan biasa-biasa saja dan kadang jalan ceritanya amat ngawur, tapi TOP amat keren menurut saya. Sebab ada konsistensi dan bangunan rasa percaya diri di dalamnya. Tak peduli dianggap B aja atau kampungan, ia punya eksotisme yang memukau.
Justru dari yang awalnya dianggap B aja dan kampungan dan udik itu, ia memunculkan pamor kekhasan. Menampakkan keistimewaan. Baik dari jalan cerita maupun materi (termasuk para pemain) pendukung cerita, TOP punya kekhasan yang justru menggilas OK-JEK — di mata saya.
Lihatlah, jalan cerita yang sederhana tapi selalu tak terduga, pergantian scene mendadak, hingga para pemain yang berasal dari orang-orang biasa, saya kira, layak dicatat dengan tinta emas dalam peradaban perfilman populer Indonesia.
Aris Nugraha adalah orang Indonesia pertama, sependek pemahaman saya, yang seolah mengatakan: untuk jadi artis terkenal, kamu nggak usah ganteng banget atau cantik banget atau berbakat banget. Tapi cukup temui saya saja.
Di sinilah, menurut saya, kehebatan Aris Nugraha. Dia mampu membangkitkan rasa percaya diri banyak orang kecil dan orang biasa untuk berani tampil layaknya artis mapan, dengan cara yang biasa-biasa saja. Dengan cara yang sederhana. Dengan cara yang, tentu saja, Jurnaba.
“Saya punya pandangan siapa pun bisa jadi artis hebat. Buang mitos kalau artis itu harus ganteng atau cantik. Saya di sini mencoba realistis, semua yang saya lihat di kehidupan nyata saya tulis,” kata Aris seperti dikutip Tribun Solo.
Andai diberi pilihan menemui Riri Riza atau Aris Nugraha atau Joko Anwar atau Hanung Bramantyo, misalnya, tentu saya akan memilih menemui Aris Nugraha. Ini bukan soal kekaguman. Bukan soal indie dan hipster-hipster an. Tapi soal metode dan cara. Saya ingin bertanya padanya: metode menggeser dominasi Jakarta itu dapat inspirasi darimana?
Ya, itulah kehebatan Aris Nugraha. Satu hal yang mungkin amat saya kagumi dari sutradara 51 tahun itu, adalah cara dia — pelan-pelan — menggeser dominasi Jakarta. Selama ini, televisi selalu didominasi perkara yang Jakarta Sentris. Dan dengan kesederhanaan yang luar biasa, Aris Nugraha mampu menggeser dominasi itu, secara pelan dan tak terlihat begitu kentara.
Pangandaran, Bandung, Garut dan uborampe sosial budaya akar rumput masyarakat Jawa Barat, banyak saya tahu justru dari karya-karya Aris Nugraha. Meski belum pernah sekalipun saya menginjakkan kaki ke sana.
Aris Nugraha mampu membawa dan memperkenalkan Garut ke Jakarta dengan cara yang luar biasa sederhana tapi tepat momentum. Jika kelak adat budaya kota-kota di Jawa Barat jadi ngepop dan dikenal dunia, itu tentu berkat Aris Nugraha.
Aris tak serupa sutradara-sutradara keren yang bersekolah perfilman sebelum menjadi penulis skenario hebat. Dia belajar agak otodidak. Lelaki yang serius menekuni penulisan skenario pada 1997 itu, pernah jadi jurnalis pada 1992. Tak pelak ia punya kemampuan bagus dalam penulisan skenario film.
Dari Aris pula saya tahu bahwa visual dan audio film yang bagus sangat bergantung pada penulisan skenario. Improvisasi pemain itu nomor sekian. Menurut Aris, sebuah skenario yang baik oleh sutradara baik, bakal jadi masterpiece.
Aris tak pernah memperbolehkan para pemainnya berimprovisasi sedikit pun. Bahkan, celetukan ‘Oh’, ‘Eh’, atau yang berbahasa Sunda seperti ‘mah’ dan ‘teh’ tidak boleh ada. Semua harus sesuai skenario yang ditulis.
’’Kalau tidak percaya boleh dilihat berkas skenario dan videonya di YouTube. Semuanya sama persis, karena saya yang bikin,’’ ucapnya seperti dikutip Jabarekspres.
Tak heran jika banyak karya-karyanya yang jadi hits karena 100 persen skenario. Tak ada improvisasi sedikitpun. Disiplin skenario sangat penting. Itu, barangkali jadi alasan kenapa Aris tak takut memainkan orang biasa (bukan artis) sebagai para pemain.
Sebab, artis terkenal pun jika tak disiplin skenario hasilnya juga buruk. Terlebih, biasanya yang sudah terkenal punya potensi berimprovisasi lebih besar. Karena itu dia lebih memilih pemain yang tak punya pengalaman sekalipun, asal disiplin skenario.
Karya-karya hasil skenario Aris, bagi sebagian orang mungkin dinilai B aja atau banyak bolongnya atau agak ngawur atau jalan ceritanya berubah-ubah — khususnya yang sinetron kejar tayang. Tapi, dia konsisten dan bebal sehingga dari sana, justru terlihat eksotisnya. Tampak keindahannya.
Dan bagi saya, ini sikap yang khas Jurnaba: sederhana, bebal (bodo amat) dan eksotis karena konsisten.
Tak terhitung berapa banyak jasa Aris Nugraha dalam membangun rasa percaya diri orang-orang biasa. Tak hanya membuka lapangan kerja, dia mengangkat mereka yang semula sulit ekonomi menjadi artis. Dan membawa nama baik budaya daerah kelahirannya, Garut, ke kancah televisi.
Aris Nugraha juga mampu menggeser tema Jakarta Sentris yang selalu mendominasi pertelevisian Indonesia dengan budaya-budaya daerah udik Jawa Barat yang sesungguhnya amat memukau itu.
Cara Aris Nugraha membangun rasa PD di dalam diri orang-orang biasa, dan tekniknya menggeser dominasi Jakarta dengan cara amat sederhana, benar-benar amat saya kagumi.
Aris menyampaikan pesan-pesan filosofis dengan cara amat sederhana dan mudah dipahami, hingga tampak receh di permukaan. Sementara banyak sutradara hebat yang menyampaikan pesan filosofis dengan cara keren, dan saking kerennya, sampai sulit dipahami. Dalam hal itu, Aris punya level satu tingkat di atas mereka.
Sejumlah sutradara hebat-hebat memang punya karya bagus, tapi tak sampai menimbulkan keinginan saya untuk menulis skenario film. Dan, ya, jika ada orang yang mampu membuat saya punya krentek hati untuk menulis skenario film, dia adalah Aris Nugraha.