*Mblantung merupakan keterampilan kuno dalam mengambil lantung (minyak tanah). Local Genius ini sudah punah. Namun, esensinya abadi dalam tradisi dan falsafah.
*Para pendahulu seolah seperti tahu, jika kelak generasi kita akan menghadapi Krisis Iklim. Karena itu, mereka memberi isyarat penting sebagai pedoman mengelola alam.
Dalam kaidah Determinisme Lingkungan, kecenderungan sikap masyarakat sangat dipengaruhi kondisi fisik alam di mana ia tinggal. Bahkan, letak wilayah dan keberadaan Sumber Daya Alam (SDA), jadi faktor utama pembentuk karakter sosial masyarakatnya.
Secara geografis, Bojonegoro berada di tengah lajur Pegunungan Kendeng dan mendominasi lintasan Bengawan. Sebagai kawasan yang dipeluk Kendeng dan Bengawan, wajar jika hampir di setiap zaman, kawasan ini punya peran meng-orkestrasi gerak peradaban.
Keistimewaan geografis ini, entah kenapa, tak pernah dibahas di dalam kurikulum sekolah formal. Pelajaran sekolah, justru seperti menjauhkan apa yang sesungguhnya dekat dan melekat dengan kehidupan kita itu, dengan cara tak pernah membahasnya.
Atas alasan itulah, Jurnaba Institute dan Suluk Ekologi berupaya menggali, mempelajari, meng-aransemen, dan memunculkan kembali keistimewaan itu, dengan cara membahas dan memasukannya pada kurikulum pendidikan alternatif.
Baca Juga: Suluk Ekologi, Ekspedisi dan Berdiskusi
Sebagai wilayah yang dikelilingi energi api (Ring of Fire), sebuah keniscayaan ketika tanah di tempat ini, mampu mengeluarkan entitas alam istimewa berupa lenga (minyak bumi), yang sudah terdeteksi sejak periode 900 M, tepatnya pada Pemerintahan Medang Raja Dyah Baletung (898 – 910 M).
Geografer Jerman, Friedrich Ratzel menyebut, lingkungan beserta SDA di sebuah wilayah, berpengaruh terhadap nilai dan norma yang mengatur hubungan manusia di dalamnya. Norma ini, tentu menyublim sebagai nilai tradisi pembentuk karakter kebudayaan.
Budaya adalah keseluruhan cara hidup mencakup segala aspek kehidupan: seperti adat, seni, bahasa, agama, dan nilai-nilai norma sosial. Sementara tradisi adalah praktik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain seperti ritual, kepercayaan, ataupun perayaan.
Secara ekopsikologi, keberadaan minyak bumi telah menyatu dalam ekosistem sosial, sebagai denyut nadi kehidupan. Sehingga dalam konteks tradisi-budaya, Mblantung lahir sebagai sedimentasi ekologis antara Alam dan masyarakat lokal di kawasan tersebut.
Tradisi Mblantung
Sejak abad 10 M, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung Kerajaan Medang (898 -910 M), Lembah Kendeng yang kini dikenal sebagai Bojonegoro ini, sudah dikenal sebagai tanah yang memiliki keberlimpahan minyak bumi. Saking melimpahnya, untuk mengambil mutiara hitam itu, cukup mengangkat bebatuan saja, sumber minyak alami sudah muncul ke permukaan tanah.
Masyarakat mengambil minyak dengan seikat jerami yang dicelupkan pada sumur minyak (yang waktu itu masih dangkal), kemudian diangkat sejenak, untuk meniriskan air yang menempel pada jerami tersebut. Ikat jerami yang sudah ditiriskan, diperas (dipluntur) di atas mangkuk terbuat dari gelam (pelepah) pohon jambe.

Kedekatan masyarakat dengan minyak bumi yang terjalin selama ratusan tahun, tentu melahirkan sebuah metode penghidupan berbasis kearifan lokal. Sejumlah jurnal ilmiah Belanda yang ditulis pada awal abad 20 M menyebut, keterampilan kuno (Mblantung) ini sebagai tradisi Local Genius masyarakat sekitar. Ini menjadi fakta penting bahwa sebelum kolonial memperkenalkan mesin pengeboran, masyarakat sudah memiliki metode sendiri.
Jerami padi dan pelepah jambe, adalah dua entitas “keramat” Bale Lantung. Keduanya jadi simbol kemakmuran dan keseimbangan ekologis. Pohon jambe identik perbukitan Bale Lantung. Bahkan, pernah jadi tanaman identitas Kedewan yang dipercaya punya unsur kosmologis khusus. Sayangnya, tanaman ini mulai jarang ditemui.
Penambangan kuno berbasis Local Genius ini, diwariskan dari generasi ke generasi, hingga kemudian pada masa kolonial, metode penambangan mengalami perubahan. Atas nama konsesi dan intensivitas produksi, kolonial memperkenalkan masyarakat dengan mesin bor. Ini terjadi belum lama, baru pada awal abad 19 M.
Mblantung sebagai keterampilan kuno penambangan minyak, tentu berbeda dengan konsep penambangan minyak kolonial yang baru diajarkan pada abad 19 M tersebut. Mblantung adalah Local Genius menggunakan seikat jerami dan pelepah pohon jambe. Sementara penambangan kolonial, sudah menggunakan mesin bor.

Penambangan kuno tentu berbeda dengan penambangan kolonial. Penambangaban kuno menggunakan seikat jerami dan pelepah pohon jambe. Sementara penambangan kolonial, sudah melibatkan mesin bor. Keduanya, tentu memiliki perbedaan dalam memberi dampak ekosistem alam.
Penambangan kuno berbasis seikat jerami dan pelepah pohon jambe, memang sudah punah. Bahkan ceritanya pun, hanya lamat-lamat diingat masyarakat sepuh setempat. Namun esensi, ajaran, hingga pepatah sekaligus ibrah nasehatnya, akan abadi dalam falsafah dan tradisi.
Isyarat Krisis Iklim
Entitas lenga dikenal di Bojonegoro sudah cukup lama. Catatan tertua yang menyebut istilah lenga, sementara ini, terpahat pada Prasasti Telang (903 M) dan Sangsang (907 M), yang dirilis pada pemerintahan Raja Dyah Baletung (898 – 910 M), Kerajaan Medang. Artinya, masyarakat Bojonegoro sudah cukup lama mengenal lenga.
Sejak abad 10 M, peradaban di Bojonegoro, kususnya Bale Lantung, sudah maju. Mereka sudah memahami transportasi sungai, manajemen perpajakan, metode peternakan, produksi metalurgi (logam), hingga tradisi tulis. Para leluhur, bahkan sudah menitipkan nasehat luhur untuk kita, dalam menghadapi Krisis Iklim.
Nasehat luhur itu, berupa kredo keramat Lengo Urup Banyu Urip — bahwa di setiap tanah yang mengandung lenga urup (minyak bumi), harus memuliakan banyu urip (sumber air). Terbukti, sejumlah kawasan pusat lenga urup (minyak bumi) di Bojonegoro, diberi nama Banyu Urip. Tentu saja ini pengingat, agar kita memperhatikan “sumber air”.

Para pendahulu tentu tahu, Krisis Iklim yang saat ini kita hadapi, berdampak pada hilangnya air tanah, dan banyak sumber air mengering. Karena itu, jauh-jauh hari mereka menempelkan istilah “Banyu Urip” di tempat-tempat khusus. Tempat yang jadi titik perhatian zaman. Tujuannya, agar kita mengingat pentingnya “air”.
Faktanya, Banyu Urip (Kedewan) dan Banyu Urip (Gayam), menjadi dua pilar Migas Bojonegoro. Banyu Urip (Gayam) dan Banyu Urip (Kedewan), telah membawa Bojonegoro menembus ranah internasional. Para pendahulu memberi nama dua kawasan ini dengan Banyu Urip, bukan tanpa alasan. Namun punya pesan yang ingin disampaikan. Pesan akan pentingnya Kelestarian Air.
Peradaban lenga dan Local Genius yang menyejarah inilah, yang menginspirasi masyarakat sipil di Bojonegoro, membangun mekanisme pengelolaan Migas berkelanjutan: Dana Abadi Migas. Sebuah mekanisme mengawetkan anugerah untuk anak-cucu di kemudian hari — serupa metode yang dilakukan para pendahulu untuk kita hari ini.
** Ditulis sebagai hasil kajian Suluk Ekologi yang dibina Dosen Psikologi Lingkungan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Dr. Noer Fauzi Rachman, PhD.